Minggu, 25 Januari 2009

Kiat Suku Naga Melestarikan Hutan

Sebagai petani kehidupan mereka bergantung penuh pada alam. Mereka mengerjakan sawah milik masing-masing, atau menjadi buruh tani dari saudara sekampung yang lebih makmur. Untuk menambah penghasilan, ada warga Kampung Naga yang beternak ikan di kolam dan berkebun cengkih, atau beternak ayam dan kambing, serta menjual hasil kerajinan anyam menganyam. Kolam, sawah dan kebun tidak pernah kering walaupun di musim kemarau yang kering sekalipun.

Hutan dipertahankan agar tetap terjaga kelestariannya. Selama musim hujan, hutan yang lebat ini dapat ‘menyimpan’ air hujan sehingga mencegah banjir di lembah itu. ‘Simpanan’ air hujan itu bahkan cukup banyak, sehingga sepanjang musim kemarau hutan itu tetap dapat menyediakan pasokan air. Untuk itu semua warga Kampung Naga dilarang menebang pohon di dalam hutan. Bahkan mengumpulkan ranting kering untuk kayu bakar pun tidak boleh. Kayu bakar harus diambil dari kebun pekarangan masing-masing atau dipinjam dari tetangga. Kelak dikembalikan berupa ranting kering atau bambu dari kebun sendiri.
Sejak kecil, mereka sudah dididik agar hidup bergotong-royong dengan sesama warga serukun kampung. Sebab mereka semua ‘masih saudara’, baik saudara dekat maupun keponakan jauh. Mereka dari satu kakek moyang Sembah Dalem Eyang Singaparna. Menjalani gaya hidup seperti ini tidak ada yang mengeluh, karena semua ‘masih saudara’
Perhitungan tahun masyarakat Kampung Naga menggunakan penanggalan Hijriah, lewat analisis terhadap jenis hari yang bertepatan dengan 1 Muharam, mereka menemukan jejak-jejak cuaca bagi kelangsungan kehidupan agraris mereka. Tahun 1423 H yang jatuh pada Sabtu dirumuskan berada dalam karakter kambing, sesekali saja membutuhkan air. Setiap bulan dalam setiap tahun, bisa juga dihitung arah cuacanya. Ada karakter dari masing-masing bulan. Bulan ini, sebagai contoh, tanggal 1 Hapit jatuh pada Minggu, Hapit bernaktu 1 ditambah dengan naktu tahun 1423: 4; berada di bawah bayangan Dewa Diktekapata (atau congcorang, belalang sembah), merupakan bulan yang jarang turun hujan.
Hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang selalu berpindah-pindah dan posisinya menentukan curah hujan. Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal, ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya Dewa-dewa Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara, dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman bagi cara bertanam.
Harmonisasi kepercayaan lokal dengan sistem ajaran Islam tidak jarang membuat mereka dipojokan sebagai komunitas yang berada di luar kebenaran (Islam). Apalagi, mereka menyarankan warganya yang sudah berhaji untuk tidak tinggal di wilayahnya, yang berhaji dianggap telah berziarah pada roh yang lebih suci ketimbang penghuni Kampung Naga karena itu tidak pantas lagi tinggal di wilayah Kampung Naga.
Serangan terhadap keunikan tradisi kehidupan Kampung Naga ini berpuncak pada tahun 1956. Kampung Naga dibakar oleh gerombolan DI/TII yang menyebabkan seluruh benda-benda pusaka hangus terbakar. Ada kisah lain yang menarik mengenai soal ini. Konon (seperti ditulis Syukriadi Sambas dalam tesisnya “Pemimpin Adat dan Kosmologi Waktu”) pada tahun 1966 ada seorang warga Kampung Naga yang pulang dari pesantren. Ajaran Islam yang didapatkan dari pesantren membuat ia menyimpulkan bahwa itung-itungan masyarakatnya bertentangan dengan akidah Islam. Pemimpin adat waktu itu, Djaja Sutidja menerima kritik dan melakukan perubahan sesuai dengan keinginan santri muda tersebut. Untuk tanam padi tahun itu, ia menyerukan warganya untuk menggunakan penghitungan masyarakat umum (tidak menggunakan itung-itungan Kampung Naga). Namun, anehnya hasil pertanian gagal dipanen, ada hama wereng yang merusak tanaman mereka.
Waktu tanam memang tidak diatur dalam Alquran dan Hadis karena itu mereka merasa bukan soal besar jika menggunakan sistem penghitungan dari luar batas ajaran Islam atau mereka tak lagi menyoalkan kategori benar-salah, hidup membutuhkan kategori lain yang lebih membantu, yaitu bermanfaat-tidak bermanfaat. Upaya untuk mengategorikan kehidupan dalam batas salah-benar, seperti kasus santri muda, membuat kehidupan jadi berantakan. Walaupun demikian, secara sadar, warga Kampung Naga memulai perhitungannya dengan doa: “Allahumma puter giling tulak bala/ Saking gumiling aya di wetan/ Bilih balai aya di wetan/ Pulang deui ka wetan/ Tunggal hurip ku kersaning Allah/ La Ilaha Illallah// Selamet”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar