Minggu, 25 Januari 2009

Materi Matakuliah Kelembagaan dan Masyarakat Pedesaan

Materi Matakuliah Kelembagaan dan Masyarakat Pedesaan

Konferensi internasional tentang pemetaan perubahan secara partisipatori melalaui komunikasi dan manajemen informasi ruang angkasa melibatkan 154 orang dari 45 negara dan bangsa yang berbeda dengan pengalaman praktis implementasi partisipatori GIS (PGIS).

Para praktisi percaya bahwa penggunaan PGIS dapat memiliki implikasi yang mendalam bagi kelompok msyarakat yang marginal, dengan beberapa alasan yaitu; (1) memperbesar kapasitas bangkit, kepedulian dan komunikasi informasi ruang angkasa, (2) dapat merangsang inovasi, dan (3) dapat menimbulkan perubahan positif masyarakat.

Peralatan diciptakan dan dipakai dalam praktis dan dapat menjadi perputaran yang interaktif untuk networking, diskusi, pertukaran informasi, analisis dan pembuatan keputusan.

Ketika PGIS pertama kali dipraktekkan dari system nondigital ke digital pada pertengahan 1990-an, perhatian pada kelayakan aplikasi peralatan PGIS yang relatif kompleks dalam cara-cara partisipatori. Di dalam judul makalahnya “ partisipatori GIS: peluang atau oxymoron? Abbot dkk (1998) mengindentifikasi dan mendebat keuntungan dan masalah pendekatan GIS. Mereka menanyakan apakah system GIS dapat dipakai oleh masyarakat local, pemberdayaan mereka dalam mempengaruhi dalam menentukan kebijakan menggunakan data mereka sendiri atau apakah partisipatori GIS dapat digali dengan mudah?. Hal ini merupakan pertanyaan pundamental yang terus ada terutama untuk peralatan digital. Namun, para praktisi telah lebih dari satu decade mengembangkan dan mengaplikasikan alat ini sebaik keberlanjutan eksplorasi mereka yang lebih tua, peralatan PGIS nondigital. Konferensi pemetaan untuk perubahan telah diikuti oleh para praktisi untuk berbagi pengalaman mereka, kegagalan dan kesuksesan dan indentifikasi hiknah dan pelajaran untuk masa-masa yang akan dating. Isi dari isu-isu khusus ialah bagaimana praktis PGIS dapat dimatangkan. Hal itu dimulai untuk membangun setting etika dan metodologi yang efektif yang didasarkan pada pengalaman mereka sendiri. Pertimbangan etika akan membantu mengarahkan pengalaman baru praktisi untuk memastikan komunitas lokal dapat dibangun dan komunikasi data mereke dan serta pengaruh dalam proses pembuatan keputusan secara luas.

Seperti penggunaan GIS ( Geographic Information System) secara partisipatory untuk membuat sebuah peta suatu wilayah yang disebut dengan PGIS. PGIS merupakan hasil gabungan antara metode PLA (Participatory Learning and Action) dengan metode GIT (Geographic Information Technologies). Pasilitas PGIS reperesentasi dari pengetahuan orang-orang local dengan menggunakan peta dua atau tiga dimensi. Peta yang dihasilkan dapat dipakai untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan sebaik dukungan komunikasi dan advokasi komunitas. Praktek PGIS mengarahkan pada pemberdayaan komunitas melalui ikatan, dorongan keinginan dan dengan memakai aplikasi yang ramah dari teknologi geografi. Kelebihan dari penggunaan PGIS adalah pleksibel dan mudah adaptasi untuk sosial budaya dan lingkungan biofisik yang berbeda. Dalam pelaksanaan sering dikombinasikan antara ketrampilan para ahli dan pengetahuan lokal.

Di luar negeri peralatan dan metode didapatkan untuk praktisi dan representaso komuniti. Dimulai dari teknologi pemetaan sketsa yang rendah sampai teknologi bumi ruang angkasa dan multimedia. Peralatan ini meningkat di dalam kekomplekkannya, pemakain mereka sering melibatkan korporasi dalam meyediakan peralatan, menghasilkan pendekatan peralatan yang multiguna.

DISKRIPSI KONFERENSI

Konferensi pemetaan untuk perubahan dilaksanakan secara intensif selama tiga hari. Hal itu termasuk presentasi 12 pengelola utama yang diikuti dengan diskusi, dan presentasi 32 pengantar selama diskusi paralel. Selanjutnya diskusi kerja kelompok yang didasarkan pada pertanyaan dan tugas yang diberikan. Hasil diskusi kelompok kemudian dipresentasikan pada sesi utama yang dilanjutkan dengan debat.
Tujuan awal dari kongerensi bagi partisipan agar dapat:
1. Membagai pengalaman dan menjelaskan good practice untuk membuat teknologi informasi geografik pada kelompok marginal di masyarakat dan,
2. untuk mengeset dasar untuk menguatkan jaringan regional dan pusat sumber untuk mempromosikan dan mendukung good practice di dalam PGIS.
Tujuan dan maksud konferensi telah direalisasikan denngan baik. Dari Kenya samapi Kanada, partisipan bangsa pertama dan lokal, organisasi yang representatif dan semua peneliti telah berbagi pengalamanya tentang PGIS. Kelompok kerja merespon untuk tugas-tugas yang spesifik partisipan yang diinginkan pada pembelajaran kolaboratif pada isu-isu termasuk:
•Lingkungan yang mungkin dan tidak mungkin bagi PGIS, fokus pada kebijakan dan dukungan pendanaan atau melemahkan kesempatan untuk good practice.
•Berbagi pengalaman untuk praktek PGIS. Hal ini termasuk representasi pengetahuan lokal ruang angkasa, klaim tanah dan manajemen sumberdaya, isu-isu yang berkaitan dengan proses partisipatori, dan ide-ide pada bagaiamana untuk mendukung melindungi warisan budaya.
•Membangun solidaritas dan visi umum diantara praktisi PGIS. Hal ini termasuk pembangunan jalan untuk menambah jaringan dan komunikasi, draft strategi regional untuk mendukung praktis dan indentifikasi kunci terminologi untuk agen dan donor pembangunan internasioanal agar mendukung dalam praktis.
Pedoman untuk good practice PGIS dibawah perbedaan konteks sosial-politik di negara-negara berkembang didiskusikan pada forum terbuka PGIS dan teknologi www.ppgis.net. Giacomo Rambaldi, Mike McCall, Robert Chambers dan Jefferson Fox sum up telah berpandangan yang tertuang dalam artikelnya pada isu-isu spesial.

Transparansi, Waktu dan Kepercayaan

Jumlah tema penting yang berhubungan good practice muncul dari presentasi konferensi, poster, workshop dan diskusi. Semua ini dapat dirangkum dan perlu dipertimbangkan PGIS sebagai praktis dibawah pembuatan peta partisipatori dan pengaruh tambahan dari dimensi jaringan, komunikasi dan pembangunan pada ketiga; transparansi, waktu dan kepercayaan kedua yang pertama menjadi kondisi untuk yang terakhir.

Kepercayaan menjadi bagian kunci yanf digunakan dalam konferensi. Peta menjadi potensial seperti alat yang kuat. Mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, untuk baik atau jelek, dampak proses pembuatan keputusan. Sehingga kepercayan diantara fasilitator dan orang-orang lokal menjadi syarat yang kritikal untuk sukses.

Diskrispsi dari Isu-isu Khusus

Beberapa artikel tentang isu-isu khusus dari PLA diambil dari makalah-makalah dan poster yang dipresentasikan pada konferensi pemetaan untuk perubahan. Pengarang fokus pada studi ini dan pengalaman dari pembangunan dunia dan bangsa pertama Canadian. Mereka representasikan aplikasi luar negeri dengan sejumlah pendekatan dan peralatan dalam variasi sosial ekonomi dan seting geografi dengan para praktisi dalam berbagi yang dipertimbangkan secara mendalam lewat pengalaman. Kita berharap makalah ini dapat mengkomunikasikan rasa antusiasme dan inovasi selama konferensi.

Isu-isu khusus secara terpisah juga secara sekilas dan didokumenkan pada halaman PGIS praktis. Beberapa contoh itu, dipakai dan diaplikasikan pada sebaik pemotongan, alat pinggiran yang diaplikasikan di dalam konteks baru, sebaik inovasi dan jalan yang santai. Hal itu juga menggambarkan bentuk metamorposis dari penyebaran projek yang terpisah dan tidakdihubungkan, organisasi dan individu yang menggunakan peralatan untuk menciptakan jaringan kerja dan menyatukan komuniti dari praktisi.

Struktur dari Isu-isu Khusus
Artikel isu-isu khusus dibagi menjadi tiga kelompok besar:
1.artikel yang fokus pada penyedia studi kasus yang terkait dengan aplikasi peralatan khusus PGIS dalam seting grassroots.
2.artikel yang fokus pada integrasi dari alat-lat multiguna yang ditujukan pada isu khusus oleh komuniti, dan
3.artikel yang lebih banyak teori dan asosiasi dengan isu-isu termasuk pertimbangan etika, potensi perangkap dan belajar hikmah lainnya dari pengalaman melalui aplikasi alat-lat PGIS.



Peralatan yang didasarkan pada Studi Kasus

Secara praktis yang dikaitkan dengan inovasi dan susunan PGIS, hal itu sedang menarik untuk dilihat sebagai contoh bagaimana peralatan spesifik dimodifikasi dan dikerjakan ditujukan isu-isu oleh komuniti lokal dan dipahami apa yang berguna dan tidak berguna dalam membantu untuk mencapai tujuannya.

Jon Corbett dan Peter Keller mengenalkan peta partisipatori yang didasarkan pada sistem infromasi multimedia. Hal ini menjadi pengetahuan oleh peserta/partisipan dalam komunitas sebagai sistem informasi komuniti (CIS). Pendekatnyya, pengetahuan tradisional didokumentasikan oleh anggota komuniti memakai vidio digital, perekam suara, photo digital, dan tulisan teks dan serta dimasukan pada komputer. Hal itu di rancang dan dikomunikasikan melalui peta interaktif. Pengarang menunjukkan CIS yang dipakai dalam studi kasus dari Indonesia.

Giacomo Rambaldi, Silika Tuivanuavou, Penina namata, Paulo vanualailai, Sukulu Rupeni dan Etika Rupeni membandingkan pemakaian partisipatori pemodelan tiga dimensi (P3DM) dan partisipatori pemetaan orthophoto di Fiji. Mereka menerangkan bagaimana P3DM telah efektif mendukung kolaborasi perencanaan sumberdaya dan dokumentasi warisan budaya. Pengarang mendemotrasikan P3DM yang menyediakan medium ramah atau generasi, analisis dan komunikasi pengetahuan lokal.

Berikutnya, Peter kyem menjelaskan peranan PGIS dalam mediasi dan bagaiamana teknologi dapat dipakai untuk mempromosikan pembangunan konsesus. Memakai contohzkofiase di Southern Ghana, dia mengidentifikasi bagaimana aplikasi PGIS telah membantu konflik stakeholder dalam menemukan jalan kompromi dan menawarkan ketidaksetujuan mereka.

Isu-isu yang didasarkan Pada Studi Kasus

Praktis PGIS sering disusun untuk isu-isu yang khusus yang ada dalam komuniti. Hal ini artinya peralatan multiguna dapat dipakai bersama atau sama dengan isu-isu yang lain.

Craig Candler, Rachel olson, Steven de Roy dan Kieran Broderick mendokumentasikan sejarah praktis PGIS di dalam perjanjian 8 area di British Columbia, Canada. Pengarang menjelaskan rentang perbedaan praktis dari pemetaan komuniti melalui pengembangan PGIS dan aplikasi dan metodologi yang digunakan. Pengarang mengidentifikasi perjanjian 8 area sebagai sisi paling penting untuk belajar keberlanjutan, sebaik keberlanjutannya.

Makalah Sylvia Jardinet menceritakan tentang Comunitarian Cartography. Dia menyajikan contoh yang dipakai PGIS dan GPS yang diorientasikan menuju pencegahan dan resolusi dari konflik yang terkait untuk tanah dan akses sumberdaya alam. Kerjasama dari Gaspar Garcia Laviana di Telpaneca, Nicaragua telah menghasilkan peta geografi komunitas mereka. Kehidupan publik dapat dikonsultasikan dengan kerjasama dengan anggota lainnya.

Kelompok Moikarako, Pascale de Robert, Jean francois Faure dan Anne Elisabeth lagues membagi pengalaman yang terkait untuk dukungan orang Kayapo di Brazil dalam membuat peta tanah tradisional mereka dengan memakai manajemen area. Peta ini dibuat dari satelit imajiner dan dibawah kendali GPS. Mereka menjelaskan bagaimana proses pengambilan dengan tangan mereka sendiri dan pengarahan kembali untuk menghasilkan dan memakai peta sebagai alat politik untuk kesatuan sosial dan teritorial orang Kayapo.

Julie Taylor dan carol Murphy, simon M., Elvis M.,Nathaniel Nuulimba dan Sandra Slater-Jones membagi pengalamannya termasuk peluang dan ancaman pemetaan teritorial San di Caprivi Region dari Namibia. Mereka mencatat potensi praktis PGIS untuk ekspos dan alamat yang kompleks dan isu-isu politik untuk mengidentifikasi, kebenaran dan pertanahan. Mereka selanjutnya mengidentifikasi bagaiman peta dapat memiliki aplikasi multiguna, termasuk penguatan kapasitas lokal untuk memanajemen kepentingan konservasi lingkungan .

Peter minang dan Mike MrCall mengujikan bagaimana fasilitas PGIS memakai kearifan atau pengetahuan lokal dalam perencanaan komunitas hutan untuk penyediaan karbon. Akses pembayaran untuk servis lingkungan seperti penurunan karbon mensyaratkan informasi yang ekstensif dan mahal. Pengarang menambahkan bahwa PGIS dapat meningkatkan pemakaian pengetahuan lokal dalam proses sertifikasi karbon.

Teori dan Refleksi dari Praktis

Hal itu terlalu mudah ketika berbagi pengalaman terkait untuk praktis PGIS fokus pad cerita sukses, dan untuk para praktisi menjadi hal yang menarik terkait dengan pekerjaan. Kelompok akhir dari artikel penting tetapi judul telah didiskusikan terkait untuk masalah-masalah praktis.

Mac Chapin membagi pengalamannya melalui masalah yang sering muncul dalam proyek pemetaan komunitas. Peranan proyek ditentukan oleh pemimpin yang mengawal dampak yang sukses.

Peter Poole menjelaskan dua strategi untuk proyek pemetaan pemilikan tanah; partisipasi parsial, dimana komunitas belajar pengetahuan tradisional memakai interview dan sket peta tetapi aspek komputer pemetaan membuat sumber keluar lawan partisipasi lengkap, dimana komunitas dicoba di semua aspek pembuatan peta.

Jefferson Fox, Krisnawati Suryanata, Peter dan Albertus Hadi Pramono menyajikan etika penting yang terkait untuk mengadopsi teknologi PGIS di Asia. Sejumlah kesuksesan adopsi peralatan tidak selalu memiliki efek positif. Mereka menyarankan para prkatisi untuk mengembangkan kejelasan dengan respek pada pemetaan, yang didasarkan pada pengertian yang komprehensip dan beserta konsekuensinya.

Mike Mrcall menyajikan pentingnya pertanyaan tentang isu-isu yang ketepatan dengan praktis PGIS. Istilah menjado signifikansi besar lebih dari aplikasi teknik GIS. Apa yang menyebabkan ketepan PGIS tidak bisa dicapai khususnya ketika PGIS menghasillkan data yang disyaratkan memakai metodologi tentunya interpretasi lokal, realibiliti dan relevansi.

Tidak ada makalah khusus konferensi yang menjelaskan etika dalam praktis PGIS. Tetapi etika menjadi sorotan utama. Partisipan mengakui perlu formulasi umum yang diakui sebagai etika praktis yang akan membantu mengarahkan komunitas praktisi.

Akhirnya, Susanne S. dan Nigel Crawhall melaporkan keinginan baru UNESCO yang terkait pemetaan budaya. Mereka menarik beberapa pelajaran diantara penduduk asli poang yang ada di Canada, New Zealand, Philippines dan Afrika Selatan yang dipresentasikan pertemuan terkini di Cuba. Pengalaman dan konsen etika dari pemetaan untuk konferensi perubahan didiskuiskan dan dikontribusikan untuk formulasi deklarasi UNESCO pada pemetaan budaya.

Kesimpulan

Adanya isu-isu khusus membantu membangun pengakuan dari tumbuhnya kumunitas praktis PGIS di dalam pembangunan negara. Hal itu juha berisi kekayaan praktis yang menangani saran dan nasehat dari anggota yang berpengalaman dengan kematangan disiplin. Isu-isu ini tidak hanya menjadi cerita sukses itu juga membangkitkan isu dimana dan mengapa beberapa projek bisa gagal dan memberikan saran bagaimana menghindari potensi kegagalan. Hal itu menyarankan diperlukan fokus pada pengembangan kepercayaan, proses di diberikan dengan waktu yang disyaratkan dalam membangun kepercayaan sebaik pembayaran perhatian untuk kepentingan interaksi yang transparan. Kita merasa isu-isu khusus yang seharusnya dibesarkan dipakai para praktisi termasuk komunitas lokal dan pedalaman, sebaik organisasi lain keinginan individu untuk praktis PGIS. Hal itu juga relevan untuk pelajar dan pekerja peneliti di kalangan akademik yang terkait dengan praktis. Konferensi pemetaan untuk sebuah perubahan ialah kesempatan besar untuk membawa masyarakat bersama untuk membagi pengalaman dan ide sebaik perluasan jaringan komunikasi internasional, praktisi dan peneliti.

Lesson learned/Hikmah Artikel Terkait dengan
“ Alternatif Mekanisme Teknis Pemecahan Masalah Menghadapi Krismon di Pedesaan”.

Berdasar uraian pada artikel/bahan bacaan tersebut dapat diambil banyak pelajaran penting atau hikmah yang berkaitan dengan perubahan masyarakat serta hubungan masyarakat dengan ilmuwan dan pengambil kebijakan melalui pemetan wilayah. Dalam metode intervensi aksi komunitas ini, community worker tetap diharapkan mempunyai kesadaran bahwa apa yang dilakukan sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dari kelompok masyarakat tersebut. Aksi komunitas pada umumnya lebih menekankan pada pelibatan masyarakat untuk menyampaikan keinginan mereka pada para pembuat kebijakan dan menunjukkan apa yang menjadi minat dan kepentingan mereka, serta mengharapkan agar para pembuat kebijakan lebih peduli pada komunitas pedesaan yang masih perlu pendampingan dan bimbingan yang intensif dalam memecahkan masalah-masalah terutama pada masa krismon pada kahir0kahir ini. Aksi komunitas biasanya terkait dengan suatu isu khusus yang dirasa merisaukan oleh suatu komunitas. Isu tersebut mungkin merupakan isu khusus bagi kelompok orang yang berada di wilayah tertentu, atau isu yang dirasakan oleh masyarakat secara umum dipedesaan, terutama menghadapi adanya krisis global yang merambah pada krisis monetar. Agar masyarakat pedesaan mampu untuk mengatasi krismon di pedesaan maka perlu strtaegi khusus terutama pada ketahanan ekonomi melalui pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang mereka miliki. Melalui pemetaan dengan metode GIS misalnya maka mereka dapat secara partisipatif membuat pemetaan terhadap semua potensi sumberdaya alam dan lingkungan untuk dikelola dengan sebaik-baiknya yang diintegrasikan dengan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan beserta modal sosial mereka termasuk warisan kebudayaan dan kearifan-kearifan lokal yang mereka percayai dan miliki untuk pembangunan.

Solidaritas kolektif ini merupakan tenaga penggerak yang utama untuk munculnya suatu gerakan komunitas (community movement). Tanpa adannya solidaritas kolektif sebagai energi utama dari gerakan ini, aksi-aksi pemberdayaan dan pembangunan di wilayah pedesaan yang akan dilakukan akan menjadi lemah dan tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan. Ketika masyarakat atau komunitas ingin menggoyang suatu system yang sudah mapan, mereka sangat membutuhkan adanya solidaritas kolektif untuk menjamin keberhasilan pembangunan dan pemecahan permasalahan dimasa krismon. Kelompok aksi komunitas seringkali mengorganisir diri melalui struktur organisasi yang sederhana agar mereka dapat mengambil keputusan dengan cepat. Mereka akan menggunakan taktik bekerjasama (collaborative), seperti presentasi makalah, diskusi, diskusi kelompok, memberikan penjelasan dan sebagainya. Apabila kelompok sasaran mereka pandang sebagai kelompok yang mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan dan mengalokasikan sumber daya, serta mereka menduga bahwa kelompok sasaran tersebut akan mau bekerjasama sesuai dengan norma yang dimiliki oleh kelompok mereka.

Seorang aktifis (activist atau organizer) yang berasal dari luar komunitas pedesaan sebaiknya seorang yang mempunyai pengalaman professional yang terkait dan mempunyai perhatian dengan isu-isu pemberdayaan masyarakat pedesaan yang akan dibahas dalam aksi kelompok. Tugas-tugas dasar dari seorang aktifis biasanya meliputi aspek pengorganisasian pergerakan, mobilisasi dan agitasi. Dilema yang dihadapi komunitas dengan menggunakan tenaga aktifis atau organizer dari luar adalah adanya kemungkinan bahwa sang aktifis tersebut adalah seorang yang secara politis jauh lebih canggih dari komunitas yang sedang diorganisir. Apabila hal ini terjadi maka sang organizer harus mau meluangkan waktu untuk memberikan informasi, mendidik dan mempersuasi masyarakat untuk mau terlibat dalam gerakan yang dilakukan terrutama dalam strategi menghadapi masalah ekonomi mereka dimasa krismon dengan mengoptimalkan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam pedesaan yang ada. Adanya isu-isu khusus tentang krismon dipedesaan dipakai para praktisi termasuk komunitas lokal dan pedalaman, sebaik organisasi lain keinginan individu untuk praktis PGIS. Hal itu juga relevan untuk pelajar dan pekerja peneliti di kalangan akademik yang terkait dengan praktis. Diadakanya pelatihan pemetaan untuk sebuah perubahan di pedesaan ialah kesempatan besar untuk membawa masyarakat menjadi lebih baik dan untuk membagi pengalaman dan ide agar memiliki jaringan komunikasi dengan para praktisi dan peneliti.

Pelatihan dan pendidikan bagi masyarakat pedesaan menjadi penting ketika nateri pelatihan tersebut terkait dengan pertahanan dan cara praktis dalam menghadapi masalah ekonomi yaitu adanya krismon. Disini masyarakat di arahkan untuk lebih menghargai nilai-nilai dan norma yang ada dalam komunitas itu sendiri dan juga bagaimana agar mampu mengelola sumberdaya alam dan lingkungan sebagai sandaran dalam menompang taraf hidupnya. Sehingga ketahanan pangan misalnya dipedesaan akan tetap terjaga manakala pengelolaan pertanian mereka berwawasan lingkungan dan selaras dengan alam yang berkelanjutan. Walaupun adanya krismon masyarakt pedesaan akan tetap dapat bertahan dan menjalani kehidupannya dengan wajar. Sektor informal dipedesaan perlu juga digalakkan dengan memetakan sentra dan komoditas unggulan pedesaan termasuk kerajina dan potensi wisata yang mungkin belum dikelola dengan profesional. Pendampingan dan konsultasi para akademisi, peneliti dan praktisi pelatihan dan pemberdayaan perlu ditingkatkan di wilayah pedesaan. Hal ini karena bagaimanpun juga trasfer pengetahuan dan teknologi tepat guna perlu dimediasi dengan mengadakan temu ahli dengan masyarakat luas di pedesaan. Seperti penggunaan GIS ( Geographic Information System) secara partisipatory untuk membuat sebuah peta suatu wilayah yang disebut dengan PGIS. PGIS merupakan hasil gabungan antara metode PLA (Participatory Learning and Action) dengan metode GIT (Geographic Information Technologies). Pasilitas PGIS reperesentasi dari pengetahuan orang-orang local pedesaan dengan menggunakan peta dua atau tiga dimensi. Peta yang dihasilkan dapat dipakai untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan sebaik dukungan komunikasi dan advokasi komunitas. Praktek PGIS mengarahkan pada pemberdayaan komunitas melalui ikatan, dorongan keinginan dan dengan memakai aplikasi yang ramah dari teknologi geografi. Kelebihan dari penggunaan PGIS adalah pleksibel dan mudah adaptasi untuk sosial budaya dan lingkungan biofisik yang berbeda. Dalam pelaksanaan sering dikombinasikan antara ketrampilan para ahli dan pengetahuan lokal masyarakat pedesaan guna melihat potensi sumberdaya alam untuk dikembangkan dan dikelola secara arif dan berkelanjutan untuk kesejahteraan bersama.
Participatory Learning And Action


Mapping for change:

practice, technologies
and communication


participatory learning and action
Participatory Learning and Action,
Rocamora, Jayatissa Samaranayake,
governance. We strive to reflect these
(formerly PLA Notes and RRA Notes), is
Madhu Sarin, Daniel Selener, Anil C Shah,
values in Participatory Learning and Action.
published three times a year in April,
Meera Kaul Shah, Marja Liisa Swantz,
For further information about IIED and the
August, and December. Established in
Peter Taylor, Tom Wakeford, Eliud
Sustainable Agriculture, Biodiversity and
1988, Participatory Learning and Action
Wakwabubi and Alice Welbourn
Livelihoods (SABL) Programme, contact
enables practitioners of participatory
Cover illustration: Regina Faul-Doyle
IIED, 3 Endsleigh Street, London WC1H
methodologies from around the world
Design and layout: Smith+Bell
0DD, UK.
to share their field experiences,
Printed by: Russell Press, Nottingham, UK
Tel: +44 20 7388 2117
conceptual reflections, and
There is no copyright on this material
Fax: +44 20 7388 2826
methodological innovations. The series is
and recipients are encouraged to use it
Email: sustag@iied.org
informal and seeks to publish frank
freely for not-for-profit purposes only.
Website: www.iied.org
accounts, address issues of practical and
Please credit the authors and the
immediate value, encourage innovation,
Participatory Learning and Action series.
Participatory development
and act as a ‘voice from the field’.
Participatory Learning and Action (PLA) is
We are grateful to the Swedish
Contributing to the series
an umbrella term for a wide range of
International Development Cooperation
We welcome contributions to
similar approaches and methodologies,
Agency (Sida) and the UK Department
Participatory Learning and Action. For
including Participatory Rural Appraisal
for International Development (DFID) for
information and guidelines, please see
(PRA), Rapid Rural Appraisal (RRA),
their continued financial support of
the inside back cover.
Participatory Learning Methods (PALM),
Participatory Learning and Action.
Participatory Action Research (PAR),
This special issue has been co-produced
Subscribing to Participatory Learning
Farming Systems Research (FSR), M騁hod
with the Technical Centre for
and Action
Active de Recherche et de Planification
Agricultural and Rural Development
To subscribe, please complete the
Participative (MARP), and many others.
(CTA) ACP-EU. We would also like to
subscriptions form at the back of this
The common theme to all these
thank the Centre for International
issue or contact: Research Information
approaches is the full participation of
Forestry Research (CIFOR), Environmental
Ltd. (RIL), Grenville Court, Britwell Road,
people in the processes of learning about
Research Mapping and Information
Burnham, Buckinghamshire SL1 8DF, UK.
their needs and opportunities, and in the
Systems in Africa (ERMIS Africa), the
Tel:+44 1628 600499;
action required to address them.
International Institute for Geo-
Fax: +44 1628 600488;
The methods used range from
Information Science and Earth
Email: info@researchinformation.co.uk
visualisation, to interviewing and group
Observation (ITC), the Secretariat of the
Website: www.researchinformation.co.uk
work. The common theme is the
Pacific Community – EU/SPC
promotion of interactive learning, shared
Development of Sustainable Agriculture
Back issues
knowledge, and flexible, yet structured
in the Pacific (DSAP) project, and the
Back issues 1-50 in PDF format are now
analysis. These methods have proven
Christensen Fund for their support for
available to download free of charge
valuable for understanding local
this special issue. The views expressed in
online. To purchase back issues of
perceptions of the functional value of
this publication do not necessarily reflect
Participatory Learning and Action please
resources, processes of agricultural
the views of the funding organisations or
see the green order form at the end of
intervention, and social and institutional
the employers of the authors.
this issue. All IIED publications, including
relations.
Editors: Holly Ashley, Nicole Kenton and
Participatory Learning and Action back
In recent years, there has been a
Angela Milligan
issues, are available through:
number of shifts in the scope and focus of
Strategic Editorial Board: Ivan Bond,
Earthprint Limited, Orders Department,
participation:
Andrea Cornwall, Nazneen Kanji, Samuel
PO Box 119, Stevenage, Hertfordshire
• emphasis on sub-national, national and
Musyoki, Jethro Pettit, Michel Pimbert
SG1 4TP, UK.
international decision-making, not just
and Cecilia Tacoli
Tel: +44 1438 748111
local decision-making;
International Editorial Advisory Board:
Fax: +44 1438 748844
• move from projects to policy processes
Oga Steve Abah, Jo Abbot, Jordi Surkin
Email: orders@earthprint.co.uk
and institutionalisation;
Beneria, L. David Brown, Andy Catley,
Website: www.earthprint.com
• greater recognition of issues of
Robert Chambers, Louise Chawla, Bhola
We regret that we are unable to
difference and power; and,
Dahal, Qasim Deiri, John Devavaram,
supply, or respond to requests for, free
• emphasis on assessing the quality and
Charlotte Flower, FORCE Nepal, Ian
hard copies of back issues.
understanding the impact of
Goldman, Bara Gu閇e, Irene Guijt,
participation, rather than simply
Marcia Hills, Enamul Huda, Vicky
IIED is committed to
promoting participation.
Johnson, Caren Levy, Sarah Levy, Zhang
promoting social justice
Recent issues of Participatory Learning
Linyang, Ilya M. Moeliono, Humera
and the empowerment
and Action have reflected, and will
Malik, Marjorie Jane Mbilinyi, Ali
of the poor and
continue to reflect, these developments
Mokhtar, Seyed Babak Moosavi, Neela
marginalised. It also
and shifts. We particularly recognise the
Mukherjee, Trilok Neupane, Esse Nilsson,
supports democracy and
importance of analysing and overcoming
Zakariya Odeh, Peter Park, Bardolf Paul,
full participation in
power differentials which work to exclude
Bimal Kumar Phnuyal, Peter Reason, Joel
decision-making and
the already poor and marginalised.


participatory learning and action
now relocated to the Institute of
involved in participatory approaches;
Guidelines for contributors
Development Studies, UK. Practical
• an assessment of the impacts of a
For a full set of guidelines, visit our
information and support on participation
participatory process;
website www.planotes.org or contact us
in development is also available from the
• potentials and limitations of scaling up
at the address below.
various members of the RCPLA Network.
and institutionalising participatory
This initiative is a global network of
approaches; and,
Types of material accepted
resource centres for participatory
• potentials and limitations of
• Articles: max. 2500 words plus
learning and action, which brings
participatory policy-making processes.
illustrations – see below for guidelines.
together 15 organisations from Africa,
• Feedback: letters to the editor, or
Asia, South America, and Europe. The
Language and style
longer pieces (max. 1500 words) which
RCPLA Network is committed to
Please try to keep contributions clear and
respond in more detail to articles.
information sharing and networking on
accessible. Sentences should be short and
• Tips for trainers: training exercises, tips
participatory approaches.
simple. Avoid jargon, theoretical
on running workshops, reflections on
Each member is itself at the centre of
terminology, and overly academic
behaviour and attitudes in training,
a regional or national network. Members
language. Explain any specialist terms
etc., max. 1000 words.
share information about activities in their
that you do use and spell out acronyms in
• In Touch: short pieces on forthcoming
respective countries, such as training
full.
workshops and events, publications,
programmes, workshops and key events,
and online resources.
as well as providing PLA information
Abstracts
We welcome accounts of recent
focused on the particular fields in which
Please include a brief abstract with your
experiences in the field (or in workshops)
they operate.
article (circa. 150-200 words).
and current thinking around
More information, including regular
participation, and particularly encourage
updates on RCPLA activities, can be found
References
contributions from practitioners in the
in the In Touch section of Participatory
If references are mentioned, please
South. Articles should be co-authored by
Learning and Action, or by visiting
include details. Participatory Learning
all those engaged in the research,
www.rcpla.org, or contacting the network
and Action is intended to be informal,
project, or programme.
coordinator: Ali Mokhtar, CDS, Near East
rather than academic, so references
In an era in which participatory
Foundation, 4 Ahmed Pasha Street, 10th
should be kept to a minimum.
approaches have often been viewed as a
Floor, Garden City, Cairo, Egypt. Tel: +20 2
panacea to development problems or
795 7558; Fax: +2 2 794 7278; Email:
Photographs and drawings
where acquiring funds for projects has
amokhtar@nefdev.org
These should have captions and the
depended on the use of such
name(s) of the author(s)/photographer
methodologies, it is vital to pay
Participation at IDS
clearly written on the back. If you are
attention to the quality of the methods
Participatory approaches and
sending electronic files, please make sure
and process of participation. Whilst we
methodologies are also a focus for the
that the photos/drawings are scanned at a
will continue to publish experiences of
Participation, Power and Social Change
high enough resolution for print (300 dpi)
innovation in the field, we would like to
Group at the Institute of Development
and include a short caption and credit(s).
emphasise the need to analyse the
Studies, University of Sussex, UK. This
limitations as well as the successes of
group of researchers and practitioners
Format
participation. Participatory Learning and
are involved in sharing knowledge, in
We accept handwritten articles but
Action is still a series whose focus is
strengthening capacity to support quality
please write legibly. Typed articles should
methodological, but it is important to
participatory approaches, and in
be double-spaced. Please keep
give more importance to issues of power
deepening understanding of
formatting as simple as possible. Avoid
in the process and to the impact of
participatory methods, principles, and
embedded codes (e.g. footnotes/
participation, asking ourselves who sets
ethics. It focuses on South-South sharing,
endnotes, page justification, page
the agenda for participatory practice. It
exchange visits, information exchange,
numbering).
is only with critical analysis that we can
action research projects, writing, and
further develop our thinking around
training. Services include a Participation
Submitting your contribution
participatory learning and action.
Resource Centre (open weekdays) with
Contributions can be sent on paper or by
We particularly favour articles which
an online database detailing materials
email to: The Editors, Participatory
contain one or more of the following
held. The Group also produces a
Learning and Action , IIED, 3 Endsleigh
elements:
newsletter and operates an email
Street, London WC1 0DD, UK.
• an innovative angle to the concepts of
distribution list.
Fax: +44 20 7388 2826
participatory approaches or their
For further information please
Email: pla.notes@iied.org
application;
contact: Jane Stevens, IDS, University of
Website: www.planotes.org
• critical reflections on the lessons learnt
Sussex, Brighton BN1 9RE, UK.
from the author’s experiences;
Tel: +44 1273 678690;
Resource Centres for Participatory Learning
• an attempt to develop new methods,
Fax: +44 1273 621202;
and Action (RCPLA) Network
or innovative adaptations of existing
Email: J.Stevens@ids.ac.uk
Since June 2002, the IIED Resource Centre
ones;
Website: www.ids.ac.uk
for Participatory Learning and Action has
• consideration of the processes

Participatory Learning and Action is the world’s leading informal
journal on participatory approaches and methods. It draws on the

expertise of guest editors to provide up-to-the minute accounts of
the development and use of participatory methods in specific fields.
Since its first issue in 1987, Participatory Learning and Action has
provided a forum for those engaged in participatory work –
community workers, activists, and researchers – to share their
experiences, conceptual reflections and methodological innovations
with others, providing a genuine ‘voice from the field’. It is a vital

resource for those working to enhance the participation of ordinary
people in local, regional, national, and international decision-
making, in both South and North.

ISSN: 1357-938X
ISBN: 1 84369 605 3
International Institute
for Environment
and Development

3 Endsleigh Street
London WC1H 0DD, UK
Tel: +44 20 7388 2117
Fax: +44 20 7388 2826
Email: pla.notes@iied.org
Participatory Learning and Action website: www.planotes.org
IIED website: www.iied.org
Co-publisher: Technical Centre for Agricultural and Rural Development (CTA)
PO Box 380, NL 6700 AJ Wageningen, THE NETHERLANDS.
Fax: +31 (0) 317 460067 Email: cta@cta.int Website: www.cta.int
Sistem Pertanian

Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Di Ciptagelar panen padi hanya dilakukan sekali dalam setahun, hal ini berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang melakukan panen 3-4 kali dalam setahun. Sistem penanaman lahanpun memiliki aturan yaitu lahan digunakan untuk pertanaman padi sekali dalam setahun dan diselingi dengan menanam sayuran agar unsur hara didalam tanah tidak rusak dan kembali netral.
Komoditas utama dari hasil pertanian Incu Putu (warga) ciptagelar ini adalah padi. Hasil dari panen padi tersebut disimpan dalam leuit (lumbung). Setiap keluarga memiliki satu atau lebih leuit yang masing-masing leuit dapat menampung antara 500-1000 pocong (ikat) padi. Terdapat satu lumbung yang dikhususkan untuk menampung sebagian hasil panen warga dimana setiap satu kepala keluarga diharuskan menyimpan satu ikat padi di lumbung tersebut. Lumbung tersebut disebut leuit si jimat, dengan adanya leuit si jimat ini, warga yang membutuhkan padi dapat meminjam dari lumbung tersebut. Leuit si jimat ini dapat menampung sekitar 8700 ikat (pocong) padi
Adat Istiadat Kasepuhan Cipta Gelar
Pakaian adat biasa yang digunakan masyarakat kasepuhan ciptagelar adalah baju kokoh warna hitam atau putih bersih dan ikat kepala untuk kaum lelaki. Untuk kaum wanita biasanya menggunakan samping atau kain sarung atau kebaya. Pakaian adat ini harus dipakai saat masuk dalam imah gede (rumah abah untuk menerima tamu dan tempat melakukan kegiatan-kegiatan adat). Adapun makna dari satu ikatan itu adalah mencirikan gotong royong dan rasa kebersamaan yang tinggi. Sedangkan makna dari ikatan yang kuat itu adalah orang-orang harus kuat memegang aturan adat. Untuk jajaran sesepuh ada pakaian adat tersendiri yaitu pakaian berwarna putih dan ikat kepala harus hitam. Warna putih melambangkan bersih pikiran sedangkan warna hitam melambangkan bisa menjaga rahasia
Tempat tinggal warga ciptagelar harus mengikuti aturan dari leluhur dengan menggunakan rumah panggung (atap yang terbuat dari daun kerai dan ijuk) dinding terbuat dari bambu dan umpakan. Warga kasepuhan ciptagelar tidak menggunakan genteng sebagai atap rumah karena hidup dibawah genteng hanya untuk orang yang sudah meninggal berada dibawah tanah.

Selain pakaian adat dan rumah adat yang menjadi ciri khas kasepuhan ciptagelar terdapat tempat upacara adat/ritual adat yang rutin dilaksanakan. Adapun upacara adat yang terkenal hingga luar kota dan rutin dilaksanakan oleh masyarakat ciptagelar adalah seretahun.
Serentahun, maksud diadakan serentahun ini adalah sebagai ucapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Dalam acara ini berbagai acara kesenian ditampilkan diantaranya jipeng, topeng, angklung, dog dog lojor, wayang golek Acara ini biasanya dihadiri oleh warga adat Banten Kidul. Undangan-undangan serta masyarakat luar kasepuhan ciptagelar. Acara ini merupakan acara puncak dari masyarakat kasepuhan ciptagelar seperti upacara ngaseuk, syukuran penanaman padi/upacara sampang jadian pari, selamatan pari ngidam, mapag pari beuka, upacara sawenan, syukuran metik pari, nganjaran, ngabukti dan ponggokan. Selain upacara adat terkait dengan padi, ada upacara lain yang dilakukan masyarakat baik pimpinan adat maupun secara pribadi yaitu :
1. Selamatan 14 na disaat bulan purnama
2. Upacara nyawen bulan safar pemasangan jimat kampung
3. Rosulan permohonan
4. Selamatan beberes nebus dosa membiarkan masalah karena pelanggaran
5. Sedekah maulud dan ruah saling mengirim makanan.


Upacara-Upacara Adat

Ritual ngaseuk; Upacara menyongsong saat menanam padi, memohon keselamatan dan keamanan menanam, prosesi selamatan dengan kegiatan hiburan seperti wayang golek, jipeng, topeng, dan pantun buhun. Diawali oleh sesepuh Girang berziarah ke pemakaman leluhur yang tersebar di wilayah Lebak, Bogor dan Sukabumi. Ritual sapang jadian pare; Satu minggu setelah tumbuhnya penanaman padi, memohon ijin kepada sang ibu untuk ditanami padi dan restu leluhur dan sang pencipta agar padi tumbuh dengan baik. Ritual pare nyiram/mapag pare beukah; Selamatan padi keluar bunga, memohon padi tumbuh dengan baik dan terhindar dari hama. Ritual pare nyiram/mapag pare beukah; Selamatan padi keluar bunga, meoh padi tumbuh dengan baik dan terhindar dari hama. Ritual sawenan; Upacara setelah padi keluar, memberikan pengobatan padi dengan tujuan agar padi selamat dan terisi dengan baik dan terhindar dari hama. Ritual mipit pare; Diadakan saat akan memotong padi dihuma maupun dipesawahan, dengan memohon kepada sang Pencipta agar diberikan hasil panen yang banyak dan meminta ijin untuk pemotongan padi kepada leluhur. Ritual nganjaran/ngabukti; Upacara ritual saat padi ditumbuk dan dimasak pertama kali, sementara itu warga menunggu sampai emak selesai dengan ritualnya. Ritual ponggokan; Seminggu sebelum seren taun, baris kolot berkumpul untuk membahas jumlah jiwa dihitung berdasarkan pajak/jiwa Rp 150,- (data tahun 1997). Kemudian menyerahkan biaya seren taun yang telah disepakati sebelumnya dan membahas seren tahun yang akan datang. Ritual seren taun; Adalah puncak acara dari segala kegiatan masyarakat kasepuhan yang dilakukan hanya di kampung gede setiap tahunnya. Upacara besar dalam menghormati leluhur dan dewi Sri dengan segala bentuk kesenian dari yang sangat buhun (lama) sampai seni yang modern sekalipun ditampilkan untuk masyarakat, dan padi dibawa dan diarak dan diiringi oleh semua orang untuk kemudian dan disimpan di lumbung komunal leuit si jimat.
Kearifan Warga Kaki Gunung Halimun

Lumbung padi biasanya disebut dengan Leuit oleh masyarakat adat Kampung Kidul. Leuit merupakan simbul ketahanan pangan bagi masyarakat. Padi yang dihasilkan dari humah merupakan sumber pangan utama masyarakat Banten Kidul. Leuit mempunyai peran vital bagi gudang penyimpan gabah atau beras hasil panen. Pada musim panceklik, simpanan gabah itu ditumbuk untuk kemudian dijadikan pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Setelah lima bulan ditanam maka padi siap dipanen dan kemudian disimpan didalam lumbung. Leuit berbentuk panggung, yang ditopang oleh empat kayu penyangga/tiang. Tingginya sekitar 2,5 meter dari atas tanah. Tiang penyanggah leuit tempat menyompan padi terbuat dari anyaman bambu. Padi yang disimpan di leuit bisa bertahan sampai puluh tahun. Pintu leuit ada di bagian abig-abig posisinya diatas bilik dekat dengan atap. Pintu ukuran kecil sekitar 50 x 70 cm. Atap lumbung terbuat dari daun sagu kirai (sejenis palm) yang dianyam. Supaya kuat atap ditahan dengan gabit yang terbuat dari belahan bambu. Ukuran leuit bervariasi tergantung dari ukuran humah yang dikelola. Masyarakat biasanya membangun leuit dengan kapasitas 500-1000 ikat padi. Umumnya bilik lumbung berukuran panjang 1,5 m lebar 1,5 meter dan tinggi 4 meter. Leuit dengan ukuran seperti itu bisa menampung sekitar 500-600 ikat. Seikat padi setara dengan 5 kg beras.
Supaya padi bisa tahan lama leuit selalu dirawat secara rutin, atap merupakan bagian leuit yang selalu diganti supaya tidak bocor. Selain perawatan secara fisik leuit dilindungi dengan mantera-mantera. Lantai leuit biasa digabtung perupuyan (semacam tungku) yang terbuat dari batok kelapa yang diisi abu dari tungku masak untuk membakar gaharu (cendana). Hama padi yang paling mengganggu adalah tikus. Masyarakat menangkal tikus dengan memasang gelebek pada leuit. Gelebek merupakan papan kayu yang berbentuk bundar dengan diameter sekitar 50 cm. Dipasang diatas empat tiang penyangga tem;pat dibawah lantai leuit. Bentuk gelebek yang bulat dengan meter cukup bedsar menyebabkan tikus tidak bisa naik ke leuit padi.
Dari sisi filosofi Leuit mengandung sebuah kearifan lokal yang sudah diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi melalui bahasa yang dipahami bersama akan keharusan “ Ngeureut ceum neum deum keur jagani isuk” (menyisikan untuk hari depan). Inilah wujud tabungan yang sesunguhnya telah dipraktekan lama untuk beberapa tempat ada yang telah dikelola berupa simpan pinjam padi. Leuit menjadi penyambung atau wujud dari beberapa bahasa pitutur dari ajaran-ajaran sunda dan mungkin ini juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Sentuhan tradisi dengan nuansa sakral membuat leuit dilingkungan warga kesatuan adat bisa lestari.
Prinsip-prinsip Kearifan Lokal;
1.TILUSAPANULU: Keterkaitan antara tiga rangkaian; (a) Tekad, ucapan, dan tingkah laku, (b) buhun, Negara, dan syan, (c) nyawa/ruh, raga serta papakaian.
2.DUASAKARUPA: Rangkaian letiga yang apabila hilang salah satunya akan berbeda maknanya. Nyawa/ruh dianalogikan sebagai masyarakat adapt, raga sebagai pemerintah dan papakaian adalah agama.
3.NUHIJIETAKENEH: Terdapat pada rangkaian nyawa/ruh, raga dan papakaian yang merupakan gerak tingkah manusia diberi pola oleh Tuhan yaitu pola rosul.
Sejarah Kasepuhan Cipta Gelar

Kasepuhan adat Ciptagelar adalah salah satu kampung adat yang masuk dalam kesatuan adat banten kidul. Kasepuhan Adat Ciotagelar masih memegang kuat adat dan tradisi yang diturunkan sejak 640 tahun yang lalu. Kasepuhan ini dipimpin oleh seorang abah yang diangkat berdasarkan keturunan. Sampai saat ini, kesepuhan adat ciptagelar sedang dipimpin oleh abah ke XI sejak tercatat kesepuhan dari tahun 1368. Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul adalah masyarakat agraris yang menmdiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun yang tersebar meliputi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi. Kasepuhan memiliki keterikatan sejarah dengan salah satu kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Siliwangi, Kasepuhan Banten Kidul kini telah berumur 640 (1368 – 2008), dengan pusat pemerintahan adatnya sekarang berada di Kampung Gede Cipta Gelar, Cikarancang, Cicemet, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. Sekarang nama pemimpin adat (Sepuh Girang) adalah Abah Ugi, yang memulai memegang tampuk kepemimpinan sejak tahun 2007 di usia 23 tahun, sepeninggalan ayahandanya yang kita kenal dengan Abah Anom.
Kampung Gede Kesepuhan Cipta Gelar adalah sebuah kampung adat yang mempunyai ciri khas dalam lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Cipta Gelar disebut masyarakat kesepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan ka dan ahian an. Dala bahasa Sunda, kata sepuh berarti ‘kolot’ atau ‘tua’ dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, muncul istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sepuh. Kata kasepuhan juga mengacu pada golongan masyarakat yang masih hidup dan bertingkah laku sesuai dengan aturan adat istiadat lama. Masyarakat Kampung Ciptarasa menyebut diri sebagai kaum Kasepuhan Pancer Pangawinan, serta merasa kelompoknya sebagai keturunan Prabu Siliwangi.
Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model ‘sistem kepemimpinan dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti ‘adat kebiasaan tua’atau ‘adat kebiasaan nenek moyang’. Nama kasepuhan hanya merupakan istilah atau sebutan orang luar terhadap kelompok sosial ini yang pada masa lalu kelompok ini menamakan dirinya dengan istilah keturunan Pancer Pengawinan.
Pada era 1960-an, Kampung Gede Kasepuhan Cipta Gelar mempunyai nama khsus yang dapat dianggap sebagai nama asli masyarakat tersebut, yaitu Perbu. Nama Perbu kemudian hilang dan berganti menjadi kasepuhan atau kasatuan. Selain itu, mereka pun disebut dengan istilah masyarakat tradisi. Kampung Gede Kasepuhan Cipta Gelar (selanjutnya ditulis dengan Kampung Cipta Gelar) merupakan nama baru untuk Kampung Ciptarasa. Artinya sejak tahun 2001, sekitar Bulan Juli, Kampung Ciptarasa yang berasal dari Desa Sirnarasa melakukan “hijrah wangsit” ke Desa Sirnaresmi yang berjarak belasan kilometer. Di Desa inilah, tepatnya di Kampung Sukamulya, Abah Anom atau Bapak Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan kampung adat memberi nama Cipta Gelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Citap Gelar artinya terbuka atau pasrah. Kepinahan Kampung Ciptarasa ke Kampung Cipta Gelar lebih disebabkan karena “perintah leluhur” yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Pada akhir tahun 2000 Abah Anom (Alm. Encup Sucipto) sebagai pimpinan menerima wangsit dari leluhur untuk pindah dari kampung Ciptarasa ke Ciptagelar. Ciptagelar artinya pasrah menerima perpindahan tersebut. Wangsit ini diterima oleh Alm. Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak mesti dilakukan. Oleh karena itulah perpindahan kampung adat merupakan kesetiaan dan kepatuhan leluhur.
KAMPUNG KASEPUHAN CIPTA GELAR

Lokasi Kasepuhan Cipta Gelar

Secara administratif, Kampung Ciptagelar berada dusun Sukamulya Desa Sirna Resmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Suka Bumi. Jarak Kampung Lokasi Kampung Ciptagelar terletak 14 Km dari desa Sirnaresmi, 27 Km dari Kecamatan Cisolok dan 103 KM dari Kabupaten Sukabumi. Kampung Ciptagelar berada pada ;posisi Ordinat S0647’10,4’ pada saat ini kampung adat Ciptagelat dihuni oleh 293 orang yang terdiri dari 84 KK yakni 151 Laki-Laki dan 142 Perempuan.

Sejarah dan Perkembangan Kasepuhan
Adat : saadat sapamasudan, sapamangguh. Jelasnya dalam seadat itu seluruh warga harus bersatu, sapamasudan artinya seluruh warga harus mempunyai pemikiran yang sama dengan aturan yang ada. Sedangkan maksud dari sapamanggi adalah seluruh warga harus emmpunyai rasa tenggang rasa yang tinggi antara warga yang satu dengan yang lainnya. Kasepuhan artinya : lingkungan atau adat istiadat orang yang memegang aturan dari abah yang sedang memegang kepemerintahan. Gdenerasi kasepuhan selama 640 tahun antara lain :
1. Karuhun dari Cipatat Bogor
2. Karuhun dari Lebak Larang
3. Karuhun dari Lembah Binong
4. Karuhan dari Talaga
5. Karuhan dari Tegal Lumbuh
6. Karuhan dari Bojong
7. Karuhan dari Pasir Jinjing
8. Abah Arjo diCiptarasa
9. Abah Encup(Abah Anom) di Ciptagelar. Masa kepemimpinan dari 1982-2007
10. Abah Ugi di Ciptagelar. Masa kepemimpinan dari 2007 – sekarang


Dalam menjalankan kepemimpinan abah Ugi dibantu oleh 7 orang kepercayaannya antara lain :
1.Ki Karma yang bertugas mengatur, membersihkan dan memelihara ruangan khusus untuk abah ugi. Adapun perwakilan untuk kampung Ciptarasa adalah pa adi.
2.Mak Uwo yang bertugas memasak untuk warga inti Abah Ugi dan anak-anaknya.
3.Ki Radi yang bertugas mengatur kesenian pantun pada hari-hari besar adat seperti serentahun, ponggokan, masak beras pertama dan menanam padi pertama. Kesenian pantun biasa dilakukan dengan menggunakan kecapi.
4.Ki Rahman bertugas mengurus orang yang meninggal dari mulai memandikan sampai menguburkan mayat. Adapun perwakilan untuk dusun ciptarasa adalah pak Uman.
5.Ki Karsim yang bertugas mengurus orang yang sakit seperti para medis. Adapun perwakilan untuk dusun Ciptarasa adalah Pa Suman.
6.Ki Daul yang bertugas mengurus pertanian. Adapun perwakilan untuk cviptarasa adalah pa Aida
7.Ki Dwi yang bertugas sebagai utusan dari abah sebagai penyampai pesan. Misalnya jika terdapat masalah dalam internal kasepuhan maka Ki Juhi bertindak sebagai orang pertama yang mengatasi masalah tersebut. Namun jika belum juga terselesaikan maka baru abah Ugi baru turun tangan. Perwakilan untuk ciotarasa adalah pa Aat.
Kiat Suku Naga Melestarikan Hutan

Sebagai petani kehidupan mereka bergantung penuh pada alam. Mereka mengerjakan sawah milik masing-masing, atau menjadi buruh tani dari saudara sekampung yang lebih makmur. Untuk menambah penghasilan, ada warga Kampung Naga yang beternak ikan di kolam dan berkebun cengkih, atau beternak ayam dan kambing, serta menjual hasil kerajinan anyam menganyam. Kolam, sawah dan kebun tidak pernah kering walaupun di musim kemarau yang kering sekalipun.

Hutan dipertahankan agar tetap terjaga kelestariannya. Selama musim hujan, hutan yang lebat ini dapat ‘menyimpan’ air hujan sehingga mencegah banjir di lembah itu. ‘Simpanan’ air hujan itu bahkan cukup banyak, sehingga sepanjang musim kemarau hutan itu tetap dapat menyediakan pasokan air. Untuk itu semua warga Kampung Naga dilarang menebang pohon di dalam hutan. Bahkan mengumpulkan ranting kering untuk kayu bakar pun tidak boleh. Kayu bakar harus diambil dari kebun pekarangan masing-masing atau dipinjam dari tetangga. Kelak dikembalikan berupa ranting kering atau bambu dari kebun sendiri.
Sejak kecil, mereka sudah dididik agar hidup bergotong-royong dengan sesama warga serukun kampung. Sebab mereka semua ‘masih saudara’, baik saudara dekat maupun keponakan jauh. Mereka dari satu kakek moyang Sembah Dalem Eyang Singaparna. Menjalani gaya hidup seperti ini tidak ada yang mengeluh, karena semua ‘masih saudara’
Perhitungan tahun masyarakat Kampung Naga menggunakan penanggalan Hijriah, lewat analisis terhadap jenis hari yang bertepatan dengan 1 Muharam, mereka menemukan jejak-jejak cuaca bagi kelangsungan kehidupan agraris mereka. Tahun 1423 H yang jatuh pada Sabtu dirumuskan berada dalam karakter kambing, sesekali saja membutuhkan air. Setiap bulan dalam setiap tahun, bisa juga dihitung arah cuacanya. Ada karakter dari masing-masing bulan. Bulan ini, sebagai contoh, tanggal 1 Hapit jatuh pada Minggu, Hapit bernaktu 1 ditambah dengan naktu tahun 1423: 4; berada di bawah bayangan Dewa Diktekapata (atau congcorang, belalang sembah), merupakan bulan yang jarang turun hujan.
Hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang selalu berpindah-pindah dan posisinya menentukan curah hujan. Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal, ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya Dewa-dewa Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara, dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman bagi cara bertanam.
Harmonisasi kepercayaan lokal dengan sistem ajaran Islam tidak jarang membuat mereka dipojokan sebagai komunitas yang berada di luar kebenaran (Islam). Apalagi, mereka menyarankan warganya yang sudah berhaji untuk tidak tinggal di wilayahnya, yang berhaji dianggap telah berziarah pada roh yang lebih suci ketimbang penghuni Kampung Naga karena itu tidak pantas lagi tinggal di wilayah Kampung Naga.
Serangan terhadap keunikan tradisi kehidupan Kampung Naga ini berpuncak pada tahun 1956. Kampung Naga dibakar oleh gerombolan DI/TII yang menyebabkan seluruh benda-benda pusaka hangus terbakar. Ada kisah lain yang menarik mengenai soal ini. Konon (seperti ditulis Syukriadi Sambas dalam tesisnya “Pemimpin Adat dan Kosmologi Waktu”) pada tahun 1966 ada seorang warga Kampung Naga yang pulang dari pesantren. Ajaran Islam yang didapatkan dari pesantren membuat ia menyimpulkan bahwa itung-itungan masyarakatnya bertentangan dengan akidah Islam. Pemimpin adat waktu itu, Djaja Sutidja menerima kritik dan melakukan perubahan sesuai dengan keinginan santri muda tersebut. Untuk tanam padi tahun itu, ia menyerukan warganya untuk menggunakan penghitungan masyarakat umum (tidak menggunakan itung-itungan Kampung Naga). Namun, anehnya hasil pertanian gagal dipanen, ada hama wereng yang merusak tanaman mereka.
Waktu tanam memang tidak diatur dalam Alquran dan Hadis karena itu mereka merasa bukan soal besar jika menggunakan sistem penghitungan dari luar batas ajaran Islam atau mereka tak lagi menyoalkan kategori benar-salah, hidup membutuhkan kategori lain yang lebih membantu, yaitu bermanfaat-tidak bermanfaat. Upaya untuk mengategorikan kehidupan dalam batas salah-benar, seperti kasus santri muda, membuat kehidupan jadi berantakan. Walaupun demikian, secara sadar, warga Kampung Naga memulai perhitungannya dengan doa: “Allahumma puter giling tulak bala/ Saking gumiling aya di wetan/ Bilih balai aya di wetan/ Pulang deui ka wetan/ Tunggal hurip ku kersaning Allah/ La Ilaha Illallah// Selamet”.
Adat Istiadat Masyarakat Kampung Naga

Masyarakat Kampung Naga masih memegang adat istiadat sehingga rumah pun masih terbuat dari atap ijuk dan dinding anyaman bambu serta kayu. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga. Setelah melewati gerbang Selamat Datang, maka para pengunjung harus menuruni lembah dengan ratusan anak tangga, ada yang menghitung hampir 360 anak tangga. Berbicara tentang tangga ini. Ada hal yang menarik mengenai cerita mitos jumlah hitungan tangga tersebut. Tangga yang menukik turun ke lembah kampung Naga tersebut tak pernah sama jumlah hitungannya. Ada yang menghitung berjumlah kurang dari 360 buah anak tangga, namun banyak juga diantaranya yang menghitung lebih dari itu. Bahkan pernah dua orang yang menghitung bersamaan tidak bisa memperoleh jumlah hitungan yang sama. Semua ini masih merupakan sebuah teka-teki bagi pengunjung yang datang kesana.
Penduduk Kampung Naga beragama Islam. Masjid terletak di tengah tengah kampung. Masyarakat hidup dari bercocok tanam dan beternak domba serta dari kerajian bambu yang dijual kepada para tamu atau pesanan/pedagang. Padi disimpan di lumbung dan bila hendak ditanak, maka padi tersebut ditumbuk di alat penumbuk padi yang disebut lisung.
Kampung Naga menjadi menarik karena kehidupannya yang unik dari komunitas yang terletak di Kampung Naga tersebut. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyarakat modern pada umumnya akan tetapi masih kuat memlihara adat istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besar Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang). Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan dan pengunjung boleh mengikuti acara tersebut dengan syarat menaati semua aturan dan ketentuan yang berlaku.

Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Jika kita jabarkan secara geografis perbatasannya meliputi : sebelah barat terdapat Tebing, Sebelah Utara berbatasn dengan Kakalen(sungai Ciwulan), Sebelah Timur dibatasi Sungai Ciwulan, dan Sebelah Selatan Kakalen (sungai). Kampung Naga memang diapit oleh tebing dan sungai yang mengalir disepanjang kawasan tersebut. Sungai inipun mereka manfaatkan sebagai kolam masyarakat. Setiap 3 bulan sekali mereka menanam dan menggambil ikan dari kubangan (leuwi) yang dibuat khusus oleh masyarakat Kampung Naga. Menurut warga setempat bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur.

Hutan yang memang terlihat rimbun hutan adat atau sebelah timur dan barat dari pintu masuk Kampung Naga. Hutan tersebut adalah paru-paru bagi ekosistem yang ada di Naga. Mereka terus menjaganya dari generasi ke generasi, agar keberlangsungan kehidupan di Naga berkesinambungan. Hutan larangan dan hutan olahan, keduanya memiliki fungsi adat yang berbeda. Terlarang bagi siapapun untuk memasuki hutan larangan, termasuk bagi masyarakat Naga yang tidak berkepentingan. Terkecuali pada saat hutan ini digunakan bagi ritual upacara adat. Namun untuk hutan olahan boleh dimasuki dan diambil kayunya asal bagi kepentingan adat. Selain untuk pembangunan perkampungan naga serta bagi mereka yang diijinkan oleh hukum adat.
Disamping masyarakatnya yang masih memegang teguh terhadap adat, juga sikap ramah yang mereka tunjukan terhadap pengunjung adalah khas dari masyarakat Naga. Kampung Naga merupakan daerah yang potensial untuk menggambarkan miniatur pada masyarakat sunda tempo dulu. Kebertahanan masyarakat yang memang tidak terinfus oleh perkembangan teknologi. Tentunya hal ini mereka pandang sebagai faktor yang akan merubah pada cultur sosial masyarakat.
Memasuki wilayah perkampungan Naga, terlihat sekali ornament bangunan yang sudah langka kita temukan pada masyarakat sunda saat ini. Betuk dan posisinya yang seragam antara rumah satu dengan yang lain. Rumah panggung, berbahan baku dari kayu dan bambu serta beratapkan Injuk (dari pohon Aren) yang katanya diambil langsung dari hutan sekitar Naga. Terdapat 111 jumlah bangunan, yang terdiri dari 109 rumah hunian sebuah mesjid dan sebuah aula pertemuan yang kesemuanya menghadap kearah Timur.

Menurut ketua adat alasan mendirikan rumah panggung agar menjaga tidak ada kecemburuan sosial pada masyarakat, lagi pula jika mendirikan rumah permanen akan mengeluarkan biaya yang cukup besar. Untuk jumlahnya sendiri masyarakat Naga tidak akan menambah jumlah rumah yang ada, karena keterbatasan lahan serta telah menjadi hukum adat. Sedang alasan mengapa semua bangunan menghadap kearah timur, selain menyesuaikan dengan keadaan lahan dan menjaga kebersihan juga agar sinar matahari bisa langsung sampai kedalam rumah-rumah tanpa terhalangi oleh bangunan yang lain. Penggunaan semen hany boleh pada pembuatan kolam yang berada diluar areal rumah mereka.
Untuk membuat sebuah rumah atau bangunan yang lain, hampir semua masyarakat ikut bergotong royong dalam pengerjaannya, sehingga pada proses pengerjaanya tidak menggunakan kuli bangunan. Disebelah pingir utara kampung, berderet beberapa kolam-kolam ikan yang sengaja dibuat warga. Memang telah menggunakan tembok untuk pinggirnya, namun hampir disetiap kolam memiliki jamban (pacilingan) yang masih terbuat dari anyamam bambu. Jamban tersebut dipergunakan warga sebagai tempat MCK. Meski sederhana namun masyarakat naga telah memandang kesehatan sebagi suatu yang perlu dijaga dan penting.
Berdasarkan informasi yang ada masyarakat Naga berpenduduk kurang lebih 326 jiwa(tahun 2004), yang terdiri dari 106 kepala keluarga. Mayoritas dari mereka bermata pencaharian sebagi petani, disamping ada yang berdagang dan merantau ke luar kampung Naga. Menurut pemandu kunjungan ternyata masyarakat naga ada yang berpendidikan sampai perguruan tinggi bahkan bekerja di jepang. Semua itu dengan biaya beasiswa. Termasuk ketua adat Kang Ade yang memiliki gelar Drs. Tetapi memang mayoritas dari mereka berpendidikan sampai Sekolah Dasar dan SLTP.
Namun, menurut pendapat masyarakat sekitar luar perkampung Naga, nama Naga sendiri berasal dari mitos yang mengatakan tempat tersebut dulunya dulunya merupakan tempat bersemayangnya seekor Naga. Namun sumber lain mengatakan bahwa tempat tersebut merupakan tempat pelarian prajurit Mataram saat dikejar musuh dalam pertempuran. Kemudia mereka bermukim dan menetap disana, hingga saat ini mereka merupakan cikal dari keturunan masyarakat Naga. Asal kata Naga berasal dari Nagawir dan atau Natebing yang artinya lereng atau tebing.
Masyarakat naga tidak boleh berbohong, berzinah, memitnah dan pantangan lainnya. Bagi mereka yang melanggar, maka akan dikenakan sanksi adat yang berujung pada pengusiran dari kampung Naga. Untungnya sampai saat ini belum ada masyarakat yang melanggar pantangan besar tersebut. Ini menggambarkan bahwa masyarakat Naga yang tidak pernah ingkar pada hukum dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh adat. Semua telah dijabarkan dan dijelaskan secara tersirat lewat norma dan ketentuan tidak tertulis. Kampung permukiman naga dibentuk dalam 3 susunan (estengger), yang kesemuanya ditempati sebagai rumah penduduk. Semakin keatas maka semakin jelas pemandangan keseluruhan kampung tersebut.
Masyarakat Naga tidak menginginkan adanya aliran listrik. Walaupun masyarakat Naga sudah beberapa kali ditawari oleh pemerintah. Pada dasarnya masyarakat Naga masih awam terhadap listrik, sehingga mereka agak sedikit takut terhadap penggunaan listrik. Pasalnya banggunan di Naga pada umumnya terbuat dari bahan yang mudah terbakar, sehingga takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Selain dari itu juga yakni untuk menjaga kebersamaan dan mencegah terjadinya kecemburuan sosial pada masyarakat. Dengan munculnya listrik tidak menutup kemungkinan masyarakat berlomba untuk membeli dan menggunakan barang-barang elektronik. Alasan yang cukup logis sebagai hukum adat yang diterapkan. Meskipun masyarakat Naga tidak menerima aliran listrik, tetapi dari beberapa rumah penduduk telah berdiri tiang-tiang antenna Televisi. Meskipun Televisi yang digunakan memakai tenaga Accumulator sebagai pembangkit listriknya. Hal tersebut membuktikan masyarakat naga tidak sepenuhnya menutup diri dari gaya modern. Salah satunya pola prilaku yang telah bergeser, begitu pula dengan pakaian dan alat keseharian yang dipergunakan oleh masyarakat.
Lahan persawahan yang menghampar di sebelah timur kampung begitu subur dan hijau. Cukup luas, hampir semuanya milik masyarakat Naga dan dikelola oleh penduduk naga sendiri. Begitu juga dengan rimbunnya hutan yang terdiri dari hutan olahan dan hutan larangan. Pupuk kandang, masih dipaki dalam usahatani, mereka masih setia dengan pupuk tersebut. Walaupun pernah menggunakan pupuk urea, tetapi mereka menilai pupuk alami lebih sehat dibanding urea. Mereka tidak menyesalkan bila menggunakan pupuk kandang hasil panen mereka hanya dua kali setahun. Begitu pula dengan proses pembajakan sawah yang masih menggunakan kerbau ketimbang traktor. Pupuk kandang serta membajak sawah dengan kerbau memang dinilai masih sangat tradisional, tetapi dari segi kwalitas yang dihasilkan mereka puas.
Masyarakat naga memang secara mayoritas berprofesi sebagai petani, namun sebagian lagi ada yang merantau ke Jakarta dan Bali menjadi karyawan dan pedagang. Kadang mereka kembali setelah beberapa tahun dirantau atau pada saat idul fitri. Kesuksesan yang diraih oleh keluarga atau masyarakat naga dalam pekerjaan, pada akhinya diikuti oleh sebagian orang untuk ikut bekerja dan merantau ke kota. Setiap orang yang pergi ke kota memiliki satu pegangan yang dibekali oleh sesepuh kampung. “jangan mencari permusuhan, tetapi jika ada musuh janganlah lari”. Sebuah bekal yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap orang yang hendak merantau ke kota.


Terdengar suara pentongan dan bedug dari surau yang ada di tengah perkampungan. Itu adalah pertanda memasuki waktu dzuhur. Dengan alat tersebut pulalah mereka melakukan komunikasi jarak jauh bila ada kepentingan untuk diskusi (rembung) adat. Didalam surau yang tidak begitu luas hampir semua masyarakat berkumpul untuk shalat berjamah. Mulai dari anak hingga orang tua. Begitu juga yang tengah bekerja diladang dan persawahan, semua ikut berjamaah. Semua penduduk Naga memang beragama islam. Tetapi mereka menolak untuk dicap sebagai salah satu aliran dalam islam, baik NU, Muhamadiah atau Persis. Yang ada adalah mereka pengikut Ahli sunah wal jama’ah.
Kebudayaan disini memang tidak jauh dengan kebudayaan sunda pada umumnya. Justru mereka masih mencerminkan kebudayaan sunda asli. Bahasa yang terlempar dari perkataan kang Ade menguntai dengan tertata, halus dan penuh dengan makna tersirat. Meskipun bahasa yang diucapkan oleh orang kampung naga sudah jarang digunakan oleh masyarakat sunda umumnya, tetapi mereka sangat akrab dengan bahasa sunda tersebut. Begitu juga dengan pakaian yang dikenakanya, untuk acara ritual maka para ibu mengenakan kebaya dan para pria mengenakan pakaian pangsi. Terkecuali untuk pakaian keseharian, kini mereka telah menggunakan pakaian biasa seperti kita pada umumnya. Dimana pun berada, masyarakat naga selalu terlihat berbeda dengan orang lain pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan mereka selalu membawa palsapah hidup kampung Naga kemanapun mereka pergi. Diantaranya sebagai berikut:
1) Ngalindungna sihung maung, diteuheurna meumenteng.
2) Ulah aya guam.
3) Bisa tuliskeun,teu bisa kanyahokeun.
4) Sok lamun eling, moal hirup salamet.
Pada beberapa rumah, masyarakat naga membuka warung kecil sebagai tempat menjual cendramata serta berguna untuk penghasilan uang tambahan. Harganya cukup murah, lagipula ini adalah upaya untuk membantu perekonomian masyarakat. Dalam system kekerabatan masyarakat naga menganut system Bilateral, yang artinya menarik keturunan dari garis ibu dan ayah. Itu yang dituturkan Sedang untuk sistem pemerintahan sendiri masyarakat naga tetap mengakui adanya sistem kemasyarakatan Formal dan Non-formal. Dalam system formal meliputi kepala RT dan Kepala Dusun dan semua unsur yang terkait didalamnya, termasuk system pemerintahan.

Pada umumnya masyarakat naga tidak mengenal nama struktural pemerintahan secara benar. Bahkan untuk Presiden saja mereka hanya tahu dan kenal pada Soekarno, karena hanya beliaulah yang pernah mengunjungi naga. Dalam system Non-foramal, masyarakat naga mengenal dan mengakui adanaya Kuncen (juru kunci) sebagi pemangku adat. Disini dipegang oleh kanga Ade sendiri yang ditunjuk langsung oleh masyarakat. Sang juru kunci berperan dalam pengambilan kebijakan adat. Ada juga Punduh yang berfungsi mengurusi masyarakat dalam kerja sehari-hari. Dirinya bertindak sebagai pengayom masyarakat apabila ada kegiatan kemasyarakatan. Begitupula dengan bidang keagaman yang diusus oleh Leube. Dirinya punya wewenag dan tanggungjawab dalam mengurus masyarakat pada masalah keagamaan dan hal lain yang terkait dengan agama.


Begitu banyak hal yang bisa diambil dari kehidupan masyarakat kampung Naga. Mulai dari hubungan kemasyarakatan, interaksi dengan alam, hingga pegangan bijak dari adat Naga. Semua itu tercermin dari budi yang luhur sebuah masyarakat sunda yang masih memegang teguh budayanya. Kita sudah sepatutnya mensyukuri keaneka ragaman budaya yang ada di nusantara.

Upacara Adat di Kampung Naga

Upacara-upacara yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga ialah;
1) Upacara Menyepi,
2) Upacara Hajat Sasih,dan
3) Upacara Perkawinan.
1. Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari selasa, rabu, dan hari sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu jika ada upacara tersebut di undurkan atau dipercepat waktu pelaksanaannya. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.

2. Hajat Sasih
Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala nikmat yang telah diberikannya kepada warga sebagai umat-Nya. Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal sebagai berikut:
1. Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27, 28
2. Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14
3. Bulan Rewah (Sya'ban) pada tanggal 16, 17, 18
4. Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16
5. Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama islam dapat dijalankan secara harmonis.
Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam. Sebelumnya para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Upacara ini disebut beberesih atau susuci. Selesai mandi mereka berwudlu di tempat itu juga kemudian mengenakan pakaian khusus.
Secara teratur mereka berjalan menuju mesjid. Sebelum masuk mereka mencuci kaki terlabih dahulu dan masuk kedalam sembari menganggukan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena mesjid merupakan tempat beribadah dan suci. Kemudian masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan duduk sambil memegang sapu lidi tersebut.
Adapun kuncen, lebe, dan punduh / Tua kampung selesai mandi kemudian berwudlu dan mengenakan pakaian upacara mereka tidak menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi Ageung. Di Bumi Ageung ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam. Setelah siap kemudian mereka keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parukuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam mesjid keluar dan mengikuti kuncen, lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang makam yang di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Eyang Singaparna.
Setibanya di makam selain kuncen tidak ada yang masuk ke dalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parakuyan kepada kuncen kemudian keluar lagi tinggal bersama para peserta upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin ) kepada Eyang Singaparna. Ia melakukan unjuk-unjuk sambil menghadap kesebelah barat, kearah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Setelah kuncen melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia mempersilahkan para peserta memulai membersihkan makam keramat bersama-sama. Setelah membersihkan makam, kuncen dan para peserta duduk bersila mengelilingi makam. Masing-masing berdoa dalam hati untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing peserta. Setelah itu kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran dan diakhri dengan doa bersama.
Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen. Mereka menghampiri kuncen dengan cara berjalan ngengsod. Setelah bersalaman para peserta keluar dari makam, diikuti oleh punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi disimpan di "para" mesjid. Sebelum disimpan sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan di Bumi Ageung.
Acara selanjutnya diadakan di mesjid. Setelah para peserta upacara masuk dan duduk di dalam mesjid, kemudian datanglah seorang wanita yang disebut patunggon sambil membawa air di dalam kendi, kemudian memberikannya kepada kuncen. Wanita lain datang membawa nasi tumpeng dan meletakannya ditengah-tengah. Setelah wanita tersebut keluar, barulah kuncen berkumur-kumur dengan air kendi dan membakar dengan kemenyan. Ia mengucapkan Ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya lebe membacakan doanya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan doa diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan Al-fatihah. Maka berakhirlah pesta upacara Hajat Sasih tersebut. Usai upacara dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng bersama-sama. Nasi tumpeng ini ada yang langsung dimakan di mesjid, ada pula yang dibawa pulang kerumah untuk dimakan bersama keluarga mereka.

4. Perkawinan

Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah. adapun tahap-tahap upacara tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngamparmunjungan. (berhamparan), dan seterusnya, Upacara sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat panyaweran, tepat di muka pintu. mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan kedua pengantin. panyawer mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan melantunkan syair sawer. ketika melantunkan syair sawer, penyawer menyelinginya dengan menaburkan beras, irisan kunir, dan uang logam ke arah pengantin. Anak-anak yang bergerombol di belakang pengantin saling berebut memungut uang sawer. isi syair sawer berupa nasihat kepada pasangan pengantin baru.
Usai upacara sawer dilanjutkan dengan upacara nincak endog. endog (telur) disimpan di atas golodog dan mempelai laki-laki menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah itu mempelai perempuan masuk ke dalam rumah, sedangkan mempelai laki-laki berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu. Dalam upacara buka pintu terjadi tanya jawab antara kedua mempelai yang diwakili oleh masing-masing pendampingnya dengan cara dilagukan. Sebagai pembuka mempelai laki-laki mengucapkan salam, setelah tanya jawab selesai pintu pun dibuka dan selesailah upacara buka pintu.
Setelah upacara buka pintu dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara ngampar, dan munjungan. Ketiga upacara terakhir ini hanya ada di masyarakat Kampung Naga. Upacara riungan adalah upacara yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai, kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen. Adapun kedua mempelai duduk berhadapan, setelah semua peserta hadir, kasur yang akan dipakai pengantin diletakan di depan kuncen. Kuncen mengucapakan kata-kata pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan doa sambil membakar kemenyan. Kasur kemudian di angkat oleh beberapa orang tepat diatas asap kemenyan.
Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara munjungan. kedua mempelai bersujud sungkem kepada kedua orang tua mereka, sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen. Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas. Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para undangan, tuan rumah membagikan makanan kepada mereka. Masing-masing mendapatkan boboko (bakul) yang berisi nasi dengan lauk pauknya dan rigen yang berisi opak, wajit, ranginang, dan pisang.
Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai wajib berkunjung kepada saudara-saudaranya, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Maksudnya untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan mereka selama acara perkawinan yang telah lalu. Biasanya sambil berkunjung kedua mempelai membawa nasi dengan lauk pauknya. Usai beramah tamah, ketika kedua mempelai berpamitan akan pulang, maka pihak keluarga yang dikunjungi memberikan hadiah seperti peralatan untuk keperluan rumah tangga mereka.
Asal Usul Orang Kampung Naga

Kampung Naga, menurut kepercayaan masyarakatnya, adalah keturunan kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka keturunan dari Sembah Dalem Singaparana, anak dari Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang adalah Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan sejarah, buraknya Kerajaan Galunggung di tangan Prabu Rajadipuntang pada tahun 1520-an karena diserang oleh Kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Surawisesa (1535-1543). Saat itu ada perebutan kuasa antara kerajaan Islam dan asli. Kerajaan Galunggung telah menjadi pemeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran sebagai pusat. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu Singaparana dibekali ilmu kebodohan yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).
Kampung Naga terletak diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan. Ada sekira 420 takikan anak tangga di lereng perbukitan itu (konon pada penghitungan kali lain jumlahnya bisa berubah). Kita harus menuruni anak tangga itu sampai di tepian Sungai Ciwulan. Sungai itu melintasi Kampung Naga. Dengan menelusuri jalan di pinggir Sungai Ciwulan tidak lebih dari dua ratus meter, sampailah kita ke wilayah Kampung Naga yang dikelilingi pagar bambu. Di seberang sungai berdiri kokoh hutan kecil, sebuah bukit yang dipenuhi oleh pohon-pohon yang tampaknya berumur sangat tua. Leuweung Larangan itulah nama yang dikenal oleh masyarakat Kampung Naga. Leweung Larangan berada di seberang Sungai Ciwulan, sebelah timur perkampungan; di sebelah barat (tepat di belakang) perkampungan terdapat Leuweung Keramat.
Leuweung Larangan, yang terletak di sebelah timur pemukiman, disebut sebagai hutan tempat para dedemit. Para dedemit dipindahkan oleh Mbah Dalem Singaparana dari wilayah yang akan ditempatinya, yang kini menjadi wilayah yang ditempati masyarakat Kampung Naga. Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun, khususnya warga Kampung Naga. Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras. Dengan demikian secara kosmologis, memilah dunia dalam tiga wilayah, yaitu Leuweung Keramat (tempat nenek moyang mereka dimakamkan) yang ada di sebelah barat, perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur. Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh tempat masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka).
Berdasarkan pembagian wilayah tersebut, bila menggunakan kerangka teori antropologi budaya, mereka membangun kosmologi ruang: atas-tengah-bawah; atau baik-netral-buruk. Lueweung Larangan di arah timur dan leweung Keramat di arah barat sebagai sumber kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. Leuweung Larangan sebagai wilayah chaos, tempat semua dedemit dan roh jahat berada. Leweung Karamat berada di sebelah barat adalah sumber kebaikan; masjid dan harta pusaka menjadi penghubung untuk mengalirkan kesakralan ke arah barat.
Hutan Keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid, di posisi kiblat, secara simbolis menunjukkan negosiasi ajaran Islam dan tradisi lokal. Menghadap ke kiblat berarti membayangkan penghadapan pada Kabah yang harus melalui penghadapan terhadap harta pusaka dan hutan keramat. Keinginan mendapatkan kesakralan Kabah didahului oleh penghubungan diri terhadap nenek moyang yang dikuburkan di Leuweung Keramat. Kosmologi ruang seperti ini barangkali yang menjadi dasar penolakan mereka terhadap warganya yang telah berhaji.
Berhaji berarti berziarah secara langsung ke makam Orang Suci. Yang berhaji telah secara langsung berhubungan karena itu tak lagi membutuhkan kiblat yang dibungkus Bumi Ageung dan Leuweung Keramat. Melihat kompisisi dan kedudukan Bumi Ageung tersebut memperlihatkan garis kosmologis yang tegas, yaitu bahwa seluruh rumah berpusat pada Bumi Ageung dan Bumi Ageung berhubungan atau berpusat pada Leuweung Keramat, tempat nenek moyang atau makam para Karuhun.
Pandangan kosmologis yang menempatkan manusia (bumi tempat manusia berada) dalam impitan antara yang sakral (Leuweung Keramat) dan yang chaos (Leuweung Larangan), telah memosisikan manusia di antara dua keadaan tersebut. Hal tersebut tampak pada pandangan mereka tentang kosmologi waktu, yang secara umum dibagi dua, yaitu waktu nahas (tidak baik) dan waktu hade, baik. Keadaan kehidupan (dunia) manusia yang terimpit antara Leuweung Larangan (kebaikan, Yang Sakral) dan Leuweung Keramat (Ketidakbaikan, Yang Chaos) tersebut mengharuskan manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan karena kedua dunia yang mengimpit tersebut telah pula memengaruhi waktu kehidupan manusia, waktu baik dan waktu tidak baik.
Terhadap waktu mereka membuat tiga patokan aktivitas, yaitu: Bismillah, berhubungan dengan awal dan asal (Yang Sakral), bernilai satu; Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik (Dunia Tengah), dengan nilai dua; dan, Astaghfirullah, berhubungan dengan dunia yang tidak baik, bernilai tiga. Patokan ini menjadi dasar aktivitas mereka dalam mencari keselamatan, kemakmuran, dan penghindaran dari malapetaka. Misalnya, bagi orang yang hendak berobat disarankan untuk mulai berangkat pada hari yang bernaktu satu, sedangkan terhadap ruang (alam) mereka memiliki patokan nyangcang munding dina batu ku tambang sajeungkal, seug mun eling moal luput hami nyangcang kuda sabatekan begung; gaduh satapak munding seug mun eling moal luput mahi. Di Kampung Naga, dialog Islam-Sunda menunjukkan bentuknya yang khas. Hirup kudu tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, demikian patokan kebersahajaan mereka.
"Nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah ini adalah;
1) Rasa hormat terhadap sesama tanpa melihat status, kondisi fisik, ras, agama, budaya dan yang lainnya;
2) Sikap harus mengalah demi kebersamaan dan kebaikan;
3) Tidak boleh sombong;
4) Tidak boleh mencemoohkan orang lain;
5) Tidak boleh menertawakan orang lain;
6) Tidak boleh menghina orang lain;
7) Tidak boleh mencelakakan orang lain;
8) Tidak boleh melawan;
9) Yakin akan kehidupan yang akan datang setelah kehidupan dunia ini yaitu alam akhirat yang kekal dan abadi; dan
10) Yakin akan kuasa Allah terhadap makhluknya.
Untuk falsafah No. 2 & 8 (harus mengalah dan tidak boleh melawan) dalam kondisi lingkungan sosial yang sudah tercipta budaya positif yang kuat (banyak orang yang berperilaku baik/ positif) maka prinsip ini dapat diterapkan namun dalam kondisi lingkungan sosial/ negara yang kurang baik dimana penjahat/ keburukan mendominasi kehidupan sosial maka nilai- nilai tersebut harus disimpan terlebih dahulu karena tentunya apabila orang baik- baik diam saja dan tidak melawan maka yang jahat/ berperilaku buruk akan merajalela dan tentunya negara/ lingkungan sosial akan hancur.
Merunut kepada sejarah, kejadian tersebut dituliskan dalam Naskah Carita Parahyangan yang disusun tidak lama setelah hancurnya Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran, dimana Raja Sunda pasca Surawisesa (Putra Prabu Siliwangi, Sribaduga Maharaja) yang waktu ituh lebih fokus mendalami Karesian/ Keagamaan (Ajaran Tentang Moral & Budaya) dan tidak mempersiapkan untuk berperang melawan para INVADERS dan dari sanalah kehancuran Kerajaan Sunda pun tidak bisa terelakan lagi. Nilai- nilai positif Kasundaan kemudian tergantikan oleh nilai- nilai baru yang kurang baik sehingga tatanan kehidupan sosial budayapun berganti. Darisanalah muncul istilah "Jati Kasilih Ku Junti" sesuatu yang baik tergantikan oleh yang buruk karena yang baik tidak melawan/ diam saja.
Banyak nilai kebaikan yang dapat dipetik dari kehidupan Kampung Naga. Dalam soal penanaman nilai ketaatan terhadap pemimpin dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga misalnya, tertuang dalam ungkapan leluhur mereka yang mengatakan ”Panyaur gancang temonan, parentah gancang lakonan, pamenta gancang caosan.” ”Artinya, masyarakat Kampung Naga harus taat dan patuh kepada pemimpin, baik secara adat maupun secara pemerintahan. Jika diundang untuk menghadap cepat datang, jika diperintahkan untuk melakukan sesuatu cepat kerjakan, dan jika diminta sesuatu cepat berikan,”
Nilai moral ini berhubungan dengan ketaatan dan kepatuhan masyarakat Kampung Naga, yang selalu ditanamkan sejak kecil terhadap anak-anak mereka, sehingga mereka terbiasa dengan hidup disiplin dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi bagi dirinya, keluarga, masyarakat, dan pemimpinnya. Oleh karena itu pendidikan nilai semacam ini besar manfaatnya bagi generasi muda bangsa agar memiliki sikap taat dan patuh kepada orang tua, agama, bangsa, dan pemimpin pemerintahannya. Dengan cara ini, akan tercipta suasana yang damai, tenteram, aman, adil, dan sejahtera dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penanaman nilai kehidupan bermasyarakat yang tertuang dalam pandangan hidup masyarakat Kampung Naga juga pantas ditiru. Dalam hal ini, mereka mengatakan, ”Batur mah ngedok nopeng ngigel ronggeng, monyet sombeng aya hargana, keur seuweu putu mah dipoyok di-seungseurikeun, dihina disapirakeun tarimakeun, cicing dina sihung maung, diteker nyamementeng ulah aya guam, bisa tuluykeun teu bisa kanyahokeun, sok mun eling moal luput salamet.” ”Artinya, kalau orang lain bersikap tidak baik, berwajah buruk harus tetap dihargai. Untuk anak cucu Kampung Naga walaupun dicemoohkan, ditertawakan, dihina, harus diterima. Sampai mau dicelakakan pun jangan melawan, bisa teruskan tidak bisa diketahui oleh kita, asal kita ingat pasti selamat,” Falsafah Kampung Naga, penuh dengan nilai moral dan makna hidup manusia yang sangat penting dan perlu ditanamkan melalui proses pendidikan dalam keluarga terhadap anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.
Penanaman nilai ketaatan terhadap hukum adat, juga punya nilai penting yang pantas ditiru, ujar Tata. Hal ini tertuang dalam ungkapan Bandung parakan muncang mandala Cijulang, ana saseda satapa baeu tunggal sapuputu, kulit kasaban ruyung keureut piceun bisi nyeri. Artinya, anggota masyarakat Kampung Naga yang ada di Bandung, Parakan Muncang, Mandala, Cijulang, selagi menjunjung tinggi adat Kampung Naga, masyarakat Kampung Naga masih mengakui. Tetapi walaupun warga Kampung Nagara sendiri, apabila melanggar aturan adat, orang Kampung Naga tidak akan mengakui lagi orang tersebut dan membuangnya jauh-jauh.
Nilai ketaatan ini senantiasa ditanamkan orang tua masyarakat Kampung Naga sejak kecil, dengan harapan agar anak-anak mereka tidak melanggar hukum adat, karena apabila melanggar akan berisiko berat bagi pelanggar dan keluarganya, serta seluruh warga masyarakat Kampung Naga. Oleh karena itu dari dulu sampai saat ini, dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga belum pernah terjadi pelanggaran terhadap adat ini.
Ketaatan ini disebabkan oleh adanya keterikatan batin mereka untuk senantiasa memelihara keutuhan dan melaksanakan amanat leluhurnya, Sembah Dalem Singaparna. Proses penanaman nilai ketaatan terhadap hukum adat ini bisa ditanamkan terhadap masyarakat umum dalam menaati hukum positif bangsa dan negara Indonesia, di mana sosialisasi terhadap ketaatan hukum positif harus dilakukan terhadap anak sejak kecil dengan bimbingan orang tuanya dan penyuluhan hukum dari aparat terkait, serta pedoman tentang hukum positif Indonesia yang harus dimiliki oleh semua keluarga di wilayah Indonesia.
Asal Usul Orang Kampung Naga

Kampung Naga, menurut kepercayaan masyarakatnya, adalah keturunan kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka keturunan dari Sembah Dalem Singaparana, anak dari Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang adalah Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan sejarah, buraknya Kerajaan Galunggung di tangan Prabu Rajadipuntang pada tahun 1520-an karena diserang oleh Kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Surawisesa (1535-1543). Saat itu ada perebutan kuasa antara kerajaan Islam dan asli. Kerajaan Galunggung telah menjadi pemeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran sebagai pusat. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu Singaparana dibekali ilmu kebodohan yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).
Kampung Naga terletak diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan. Ada sekira 420 takikan anak tangga di lereng perbukitan itu (konon pada penghitungan kali lain jumlahnya bisa berubah). Kita harus menuruni anak tangga itu sampai di tepian Sungai Ciwulan. Sungai itu melintasi Kampung Naga. Dengan menelusuri jalan di pinggir Sungai Ciwulan tidak lebih dari dua ratus meter, sampailah kita ke wilayah Kampung Naga yang dikelilingi pagar bambu. Di seberang sungai berdiri kokoh hutan kecil, sebuah bukit yang dipenuhi oleh pohon-pohon yang tampaknya berumur sangat tua. Leuweung Larangan itulah nama yang dikenal oleh masyarakat Kampung Naga. Leweung Larangan berada di seberang Sungai Ciwulan, sebelah timur perkampungan; di sebelah barat (tepat di belakang) perkampungan terdapat Leuweung Keramat.
Leuweung Larangan, yang terletak di sebelah timur pemukiman, disebut sebagai hutan tempat para dedemit. Para dedemit dipindahkan oleh Mbah Dalem Singaparana dari wilayah yang akan ditempatinya, yang kini menjadi wilayah yang ditempati masyarakat Kampung Naga. Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun, khususnya warga Kampung Naga. Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras. Dengan demikian secara kosmologis, memilah dunia dalam tiga wilayah, yaitu Leuweung Keramat (tempat nenek moyang mereka dimakamkan) yang ada di sebelah barat, perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur. Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh tempat masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka).
Berdasarkan pembagian wilayah tersebut, bila menggunakan kerangka teori antropologi budaya, mereka membangun kosmologi ruang: atas-tengah-bawah; atau baik-netral-buruk. Lueweung Larangan di arah timur dan leweung Keramat di arah barat sebagai sumber kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. Leuweung Larangan sebagai wilayah chaos, tempat semua dedemit dan roh jahat berada. Leweung Karamat berada di sebelah barat adalah sumber kebaikan; masjid dan harta pusaka menjadi penghubung untuk mengalirkan kesakralan ke arah barat.
Hutan Keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid, di posisi kiblat, secara simbolis menunjukkan negosiasi ajaran Islam dan tradisi lokal. Menghadap ke kiblat berarti membayangkan penghadapan pada Kabah yang harus melalui penghadapan terhadap harta pusaka dan hutan keramat. Keinginan mendapatkan kesakralan Kabah didahului oleh penghubungan diri terhadap nenek moyang yang dikuburkan di Leuweung Keramat. Kosmologi ruang seperti ini barangkali yang menjadi dasar penolakan mereka terhadap warganya yang telah berhaji.
Berhaji berarti berziarah secara langsung ke makam Orang Suci. Yang berhaji telah secara langsung berhubungan karena itu tak lagi membutuhkan kiblat yang dibungkus Bumi Ageung dan Leuweung Keramat. Melihat kompisisi dan kedudukan Bumi Ageung tersebut memperlihatkan garis kosmologis yang tegas, yaitu bahwa seluruh rumah berpusat pada Bumi Ageung dan Bumi Ageung berhubungan atau berpusat pada Leuweung Keramat, tempat nenek moyang atau makam para Karuhun.
Pandangan kosmologis yang menempatkan manusia (bumi tempat manusia berada) dalam impitan antara yang sakral (Leuweung Keramat) dan yang chaos (Leuweung Larangan), telah memosisikan manusia di antara dua keadaan tersebut. Hal tersebut tampak pada pandangan mereka tentang kosmologi waktu, yang secara umum dibagi dua, yaitu waktu nahas (tidak baik) dan waktu hade, baik. Keadaan kehidupan (dunia) manusia yang terimpit antara Leuweung Larangan (kebaikan, Yang Sakral) dan Leuweung Keramat (Ketidakbaikan, Yang Chaos) tersebut mengharuskan manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan karena kedua dunia yang mengimpit tersebut telah pula memengaruhi waktu kehidupan manusia, waktu baik dan waktu tidak baik.
Terhadap waktu mereka membuat tiga patokan aktivitas, yaitu: Bismillah, berhubungan dengan awal dan asal (Yang Sakral), bernilai satu; Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik (Dunia Tengah), dengan nilai dua; dan, Astaghfirullah, berhubungan dengan dunia yang tidak baik, bernilai tiga. Patokan ini menjadi dasar aktivitas mereka dalam mencari keselamatan, kemakmuran, dan penghindaran dari malapetaka. Misalnya, bagi orang yang hendak berobat disarankan untuk mulai berangkat pada hari yang bernaktu satu, sedangkan terhadap ruang (alam) mereka memiliki patokan nyangcang munding dina batu ku tambang sajeungkal, seug mun eling moal luput hami nyangcang kuda sabatekan begung; gaduh satapak munding seug mun eling moal luput mahi. Di Kampung Naga, dialog Islam-Sunda menunjukkan bentuknya yang khas. Hirup kudu tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, demikian patokan kebersahajaan mereka.
"Nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah ini adalah;
1) Rasa hormat terhadap sesama tanpa melihat status, kondisi fisik, ras, agama, budaya dan yang lainnya;
2) Sikap harus mengalah demi kebersamaan dan kebaikan;
3) Tidak boleh sombong;
4) Tidak boleh mencemoohkan orang lain;
5) Tidak boleh menertawakan orang lain;
6) Tidak boleh menghina orang lain;
7) Tidak boleh mencelakakan orang lain;
8) Tidak boleh melawan;
9) Yakin akan kehidupan yang akan datang setelah kehidupan dunia ini yaitu alam akhirat yang kekal dan abadi; dan
10) Yakin akan kuasa Allah terhadap makhluknya.
Untuk falsafah No. 2 & 8 (harus mengalah dan tidak boleh melawan) dalam kondisi lingkungan sosial yang sudah tercipta budaya positif yang kuat (banyak orang yang berperilaku baik/ positif) maka prinsip ini dapat diterapkan namun dalam kondisi lingkungan sosial/ negara yang kurang baik dimana penjahat/ keburukan mendominasi kehidupan sosial maka nilai- nilai tersebut harus disimpan terlebih dahulu karena tentunya apabila orang baik- baik diam saja dan tidak melawan maka yang jahat/ berperilaku buruk akan merajalela dan tentunya negara/ lingkungan sosial akan hancur.
Merunut kepada sejarah, kejadian tersebut dituliskan dalam Naskah Carita Parahyangan yang disusun tidak lama setelah hancurnya Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran, dimana Raja Sunda pasca Surawisesa (Putra Prabu Siliwangi, Sribaduga Maharaja) yang waktu ituh lebih fokus mendalami Karesian/ Keagamaan (Ajaran Tentang Moral & Budaya) dan tidak mempersiapkan untuk berperang melawan para INVADERS dan dari sanalah kehancuran Kerajaan Sunda pun tidak bisa terelakan lagi. Nilai- nilai positif Kasundaan kemudian tergantikan oleh nilai- nilai baru yang kurang baik sehingga tatanan kehidupan sosial budayapun berganti. Darisanalah muncul istilah "Jati Kasilih Ku Junti" sesuatu yang baik tergantikan oleh yang buruk karena yang baik tidak melawan/ diam saja.
Banyak nilai kebaikan yang dapat dipetik dari kehidupan Kampung Naga. Dalam soal penanaman nilai ketaatan terhadap pemimpin dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga misalnya, tertuang dalam ungkapan leluhur mereka yang mengatakan ”Panyaur gancang temonan, parentah gancang lakonan, pamenta gancang caosan.” ”Artinya, masyarakat Kampung Naga harus taat dan patuh kepada pemimpin, baik secara adat maupun secara pemerintahan. Jika diundang untuk menghadap cepat datang, jika diperintahkan untuk melakukan sesuatu cepat kerjakan, dan jika diminta sesuatu cepat berikan,”
Nilai moral ini berhubungan dengan ketaatan dan kepatuhan masyarakat Kampung Naga, yang selalu ditanamkan sejak kecil terhadap anak-anak mereka, sehingga mereka terbiasa dengan hidup disiplin dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi bagi dirinya, keluarga, masyarakat, dan pemimpinnya. Oleh karena itu pendidikan nilai semacam ini besar manfaatnya bagi generasi muda bangsa agar memiliki sikap taat dan patuh kepada orang tua, agama, bangsa, dan pemimpin pemerintahannya. Dengan cara ini, akan tercipta suasana yang damai, tenteram, aman, adil, dan sejahtera dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penanaman nilai kehidupan bermasyarakat yang tertuang dalam pandangan hidup masyarakat Kampung Naga juga pantas ditiru. Dalam hal ini, mereka mengatakan, ”Batur mah ngedok nopeng ngigel ronggeng, monyet sombeng aya hargana, keur seuweu putu mah dipoyok di-seungseurikeun, dihina disapirakeun tarimakeun, cicing dina sihung maung, diteker nyamementeng ulah aya guam, bisa tuluykeun teu bisa kanyahokeun, sok mun eling moal luput salamet.” ”Artinya, kalau orang lain bersikap tidak baik, berwajah buruk harus tetap dihargai. Untuk anak cucu Kampung Naga walaupun dicemoohkan, ditertawakan, dihina, harus diterima. Sampai mau dicelakakan pun jangan melawan, bisa teruskan tidak bisa diketahui oleh kita, asal kita ingat pasti selamat,” Falsafah Kampung Naga, penuh dengan nilai moral dan makna hidup manusia yang sangat penting dan perlu ditanamkan melalui proses pendidikan dalam keluarga terhadap anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.
Penanaman nilai ketaatan terhadap hukum adat, juga punya nilai penting yang pantas ditiru, ujar Tata. Hal ini tertuang dalam ungkapan Bandung parakan muncang mandala Cijulang, ana saseda satapa baeu tunggal sapuputu, kulit kasaban ruyung keureut piceun bisi nyeri. Artinya, anggota masyarakat Kampung Naga yang ada di Bandung, Parakan Muncang, Mandala, Cijulang, selagi menjunjung tinggi adat Kampung Naga, masyarakat Kampung Naga masih mengakui. Tetapi walaupun warga Kampung Nagara sendiri, apabila melanggar aturan adat, orang Kampung Naga tidak akan mengakui lagi orang tersebut dan membuangnya jauh-jauh.
Nilai ketaatan ini senantiasa ditanamkan orang tua masyarakat Kampung Naga sejak kecil, dengan harapan agar anak-anak mereka tidak melanggar hukum adat, karena apabila melanggar akan berisiko berat bagi pelanggar dan keluarganya, serta seluruh warga masyarakat Kampung Naga. Oleh karena itu dari dulu sampai saat ini, dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga belum pernah terjadi pelanggaran terhadap adat ini.
Ketaatan ini disebabkan oleh adanya keterikatan batin mereka untuk senantiasa memelihara keutuhan dan melaksanakan amanat leluhurnya, Sembah Dalem Singaparna. Proses penanaman nilai ketaatan terhadap hukum adat ini bisa ditanamkan terhadap masyarakat umum dalam menaati hukum positif bangsa dan negara Indonesia, di mana sosialisasi terhadap ketaatan hukum positif harus dilakukan terhadap anak sejak kecil dengan bimbingan orang tuanya dan penyuluhan hukum dari aparat terkait, serta pedoman tentang hukum positif Indonesia yang harus dimiliki oleh semua keluarga di wilayah Indonesia.